(IslamToday ID) – Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengecam keras penangkapan terhadap warga masyarakat adat Halmahera Timur, Maluku Utara, yang menolak aktivitas pertambangan nikel di wilayah mereka.
Ia menilai, tindakan aparat tersebut sebagai bentuk represi terhadap pembela hak asasi manusia (HAM), khususnya masyarakat adat.
“Penangkapan warga masyarakat adat yang menolak tambang terlihat sebagai bagian dari upaya menekan kritik atas kebijakan ekstraktif yang tidak ramah lingkungan,” ujar Usman dalam keterangan tertulis yang diterima IslamToday ID, Senin (26/5/2025).
Negara Gagal Libatkan Masyarakat Adat Dalam Partisipasi Publik
Menurutnya, negara gagal melibatkan masyarakat adat dalam proses awal proyek pembangunan yang berdampak besar terhadap lingkungan dan kehidupan mereka.
Masyarakat, kata dia, tidak diajak konsultasi sejak awal sebelum negara melaksanakan proyek pembangunan, termasuk tambang, yang mempengaruhi kehidupan mereka.
“Belum lagi dampak negatif operasi tambang di wilayah mereka, seperti masalah kesehatan, kehilangan akses air bersih karena sungai tercemar, dan kehilangan mata pencaharian,” jelasnya.
Penolakan Terhadap Tambang: Hak Dasar yang Dijamin Konstitusi
Usman menekankan, bahwa menyuarakan penolakan terhadap tambang adalah bagian dari hak dasar yang dijamin oleh konstitusi dan hukum internasional.
“Menolak tambang bukan kriminal. Membela tanah, hutan, dan sumber kehidupan dari eksploitasi adalah hak dasar masyarakat adat,” tambah Usman.
Amnesty mencatat, sepanjang Januari–Mei 2025, sebanyak 88 pembela HAM mengalami serangan, di antaranya 40 orang berasal dari masyarakat adat.
Jumlah ini melonjak dibanding tahun 2024, dimana 22 masyarakat adat yang menjadi korban dari total 287 pembela HAM yang diserang.
“Penyalahgunaan sistem hukum pidana untuk mengkriminalisasi dan merepresi masyarakat mencapai level yang sangat mengkhawatirkan di Indonesia,” kata dia.
Amnesty Soroti Tindakan Represif Aparat
Ia menyoroti tindakan aparat, yang menembakkan gas air mata ke arah 300 warga masyarakat adat, yang tengah menggelar aksi damai.
Menurutnya, penggunaan kekuatan berlebihan terhadap 300 warga masyarakat adat, yang melakukan aksi damai menolak tambang di Halmahera Timur sulit dibenarkan.
“Aparat harus mendengarkan aspirasi mereka, bukan malah meresponnya secara berlebihan,” terang Usman.
Amnesty menyerukan agar Kepolisian Daerah Maluku Utara, segera membebaskan para warga adat yang ditahan.
Kemudian, menghentikan semua bentuk kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi terhadap mereka.
Selain itu, pemerintah diminta untuk menjamin perlindungan hak masyarakat adat atas tanah, budaya, dan sumber daya alam.
Selanjutnya, menyelesaikan konflik yang melibatkan korporasi, secara adil dan tanpa kekerasan.
“Pemerintah pun harus tegas dan aktif untuk menghentikan pelanggaran HAM dan mengevaluasi izin tambang yang merusak wilayah adat,” pungkasnya.
Sebelumnya, puluhan massa yang menamakan diri sebagai Solidaritas Lawan Kriminalisasi (SOLASI), menggelar unjuk rasa di depan Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (22/5/2025).
Dalam aksinya, puluhan massa mendesak Polri, agar membebaskan tanpa syarat warga adat Maba Sangaji, Halmahera Timur, yang ditahan Polda Maluku Utara (Malut).
“Kami Solidaritas Lawan Kriminalisasi, menuntut pembebasan 11 masyarakat adat Maba Sangaji, Halmahera Timur,” kata Ketua Solasi, Gerhana, dalam keterangan tertulis kepada ITD News, Kamis (22/5/2025).[nnh]