(IslamToday ID) — Direktur Quantum Akhyar Institute, Ustadz Adi Hidayat (UAH) mengusulkan reformasi total dalam tata kelola haji Indonesia usai musim haji 2025. Ia menyoroti tiga hal utama yang menurutnya menjadi sumber persoalan sistemik, yaitu dana talangan, tata kelola visa, dan profesionalitas dalam pengelolaan layanan haji.
Dalam pernyataannya melalui video di akun Youtube resminya, Ustadz Adi Hidayat mengapresiasi seluruh petugas haji dan jemaah Indonesia yang telah menunaikan ibadah haji dengan baik. Namun ia menegaskan, pentingnya evaluasi menyeluruh, terutama untuk memastikan perbaikan struktural dalam sistem yang berlaku.
“Saya mengusulkan dengan tegas, dana talangan haji dihapuskan. Yang belum mampu, menabung dulu. Kalau sudah siap, baru daftar,” ucap UAH, dilansir dari channel YouTube adihidayat official, Jumat (13/6/2025).
Menurutnya, dana talangan memicu antrean panjang, ketidakpastian masa tunggu, dan potensi penyimpangan. Ia meminta para ulama, termasuk dari MUI dan ormas besar seperti Muhammadiyah dan NU, ikut memberikan pandangan keagamaan agar solusi yang ditawarkan tidak sekadar administratif, tapi juga sesuai maqashid syariah.
Soroti Sistem Visa dan Potensi Transaksi Terselubung
Poin kedua yang disorot UAH adalah ketidaktertiban dalam distribusi visa, terutama visa non-kuota seperti furoda dan mujamalah. Ia mendorong pemerintah bersikap tegas dan konsisten agar tidak ada ruang membisniskan visa haji.
“Jika pemerintah hanya mengelola visa kuota, ya fokus di situ. Jangan ada lagi yang membuka celah visa undangan dijadikan komoditas,” ujarnya.
Pendakwah alumnus Kulliya Dakwah Islamiyyah, Tripoli Libya tersebut menekankan, perlunya edukasi publik tentang jenis-jenis visa haji dan potensi penyalahgunaannya.
Ia mengaku pernah menerima visa undangan langsung dari Kerajaan Arab Saudi tanpa biaya sepeser pun, dan menyayangkan jika mekanisme seperti itu berubah menjadi ladang transaksi.
Profesionalitas dan Diplomasi Harus Ditingkatkan
Selain itu, UAH meminta agar Badan Pengelola Haji dan Umrah (BP Haji) yang menggantikan peran Kementerian Agama (Kemenag) dalam pengelolaan haji memperkuat tim diplomasi dan manajemen. Ia menilai, selain ahli sistem, para pengelola juga harus paham karakter budaya dan tata kelola pemerintahan Arab Saudi.
“Manajemen tidak cukup hanya soal teknis. Harus ada yang memahami kultur Arab, terutama bagaimana negosiasi dan pendekatan dilakukan dengan pemerintah Saudi,” kata UAH.
Keterlibatan Institusi Penegak Hukum
UAH juga mengusulkan keterlibatan institusi penegak hukum sejak tahap survei lokasi hingga pelaksanaan, guna mencegah manipulasi data dan menjamin akuntabilitas.
“Kalau memang ada pelanggaran hukum, ya selesaikan dengan mekanisme hukum yang berlaku. Tapi tujuannya bukan mencari-cari kesalahan, melainkan perbaikan bersama,” pungkasnya. [nfl]