(IslamToday ID) – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengkritisi proyek Giant Sea Wall atau Tanggul Laut Pantai Utara Jawa, yang dianggap pemerintah sebagai solusi atas ancaman banjir pesisir.
Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menilai proyek ini cenderung proyek jangka panjang yang belum tentu menjawab kebutuhan riil masyarakat pesisir, khususnya nelayan.
“Masalahnya adalah kita nggak pernah tahu juga ya bahwa Giant Sea Wall ini memang bisa menjadi solusi di tengah ancaman banjir yang ada di pesisir Indonesia,” tutur Susan kepada IslamToday ID via pesan suara, Senin (16/6/2025).
Anggaran Proyek Giant Sea Wall Capai 1.200 T
Menurutnya, proyek ini tidak hanya memakan anggaran sangat besar, yakni mencapai 80 juta USD atau 1.200 triliun Rupiah, tetapi juga dinilai terlalu dipaksakan untuk semua wilayah pesisir.
“Yang kami sesalkan, pemerintah ini seolah pukul rata bahwa semua daerah butuh Giant Sea Wall. Padahal belum tentu juga yang dibutuhkan oleh kita adalah Giant Sea Wall,” ungkapnya.
Susan menilai, pendekatan pemerintah justru mengabaikan potensi solusi berbasis masyarakat dan ekosistem lokal.
Yaitu, seperti rehabilitasi mangrove atau penguatan kapasitas adaptasi masyarakat pesisir.
Proyek Skala Besar Butuh Visi Jangka Panjang yang Konsisten
Ia juga mengingatkan, bahwa proyek berskala besar seperti ini berpotensi gagal bila tidak dilandasi dengan visi jangka panjang yang konsisten, mengingat masa jabatan presiden terbatas maksimal hanya 10 tahun.
“Jangan-jangan di 10 tahun ke depan ada perubahan kebijakan lagi yang ada nanti jadinya sia-sia,” jelas Sekjen KIARA.
Susan menambahkan, dari sisi nelayan, pembangunan tembok laut raksasa justru akan membatasi ruang hidup mereka.
Kemudian, akan memperparah ancaman kehilangan sumber penghidupan, dan mendorong mereka meninggalkan profesi sebagai nelayan.
“Giant Sea Wall itu kan seperti pagar yang dibangun, tentu akan membatasi ruang mereka terhadap pesisir. Belum lagi butuh material timbunan, yang pasti akan merusak daerah pesisir lainnya,” tambahnya.
Pola Penanganan Krisis Iklim Pemerintah masih Simbolik
Lebih lanjut, Susan juga mengkritik pola pikir pemerintah dalam menangani krisis iklim, yang masih cenderung simbolik dan orientasi proyek.
“Program mangrove, transplantasi terumbu karang, itu nggak bisa dibuat hanya sebatas proyekan saja. Tanam, foto, tinggal. Nggak bisa begitu caranya,” imbuh Susan.
Akan tetapi, lanjutnya, pemerintah memang harus melibatkan masyarakat untuk bisa menjaga pesisir bersama-sama.
Selain itu, Susan juga menyoroti ketidakkonsistenan pemerintah, yang di satu sisi giat mempromosikan konservasi laut dalam forum-forum internasional.
Namun, kata dia, di sisi lain tetap mengeluarkan izin tambang yang merusak ekosistem.
“Banyak di forum iklim pemerintah sibuk dorong 30 by 30 (target global melindungi 30% wilayah daratan & lautan), debt swap (pertukaran utang untuk alam), marine protected area (kawasan konservasi laut). Tapi pada saat bersamaan, izin-izin tambangnya dikeluarin, jadi kayak nggak nyambung,” pungkasnya.
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto menyatakan komitmennya untuk segera memulai pembangunan proyek strategis nasional Giant Sea Wall.
Ia menyebut, proyek tanggul laut sebagai salah satu infrastruktur paling vital yang harus segera diwujudkan.
Yakni, demi melindungi kawasan pantai utara Pulau Jawa dari ancaman rob dan perubahan iklim ekstrem.
“Saya ingin emphasize (menekankan), saya ingin garisbawahi salah satu proyek infrastruktur yang sangat strategis, sangat vital bagi kita merupakan suatu mega project yang harus kita laksanakan adalah Giant Sea Wall atau tanggul Laut Pantai Utara Jawa,” ucap Presiden Prabowo dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis (12/6/2025).[nnh]