(IslamToday ID) – Sejarawan Universitas Diponegoro (Undip), Prof Singgih Tri Sulistyono, menyampaikan pentingnya penulisan sejarah nasional yang tidak sekadar mencatat peristiwa, tetapi juga membangun kesadaran kolektif sebagai sebuah bangsa.
Hal itu ia sampaikan saat sesi wawancara bersama ITD News di gedung Fakultas Ilmu Budaya (UIB) Universitas Diponegoro, Semarang.
Ia menyampaikan bahwa sejarah itu harus menjadi narasi besar perjalanan bangsa, bukan hanya rangkaian fakta.
“Saya lebih senang membahas substansinya. Kita harus menentukan, kita ingin menulis sejarah yang seperti apa,” ujar Singgih, Selasa,(17/6/2025)
Menurutnya, sejarah merupakan ilmu terbuka yang memberi ruang kepada siapa pun untuk menulis. Baik individu maupun komunitas berhak menuliskan sejarah dari sudut pandang ideologi dan kepentingan masing-masing.
Penulisan Sejarah Perlu Bangun Narasi Kolektif Bangsa
Guru Besar Sejarah itu juga mendorong, agar penulisan ulang Sejarah Nasional Indonesia (SNI) ditulis dengan cara yang konstruktif. Ia menekankan pentingnya membangun narasi besar tentang perjalanan bangsa sejak awal hingga masa kini.
Ia menjelaskan, bahwa dengan menarasikan dinamika dan romantika kebangsaan secara utuh, masyarakat bisa memahami bahwa perjalanan berbangsa penuh tantangan dan liku.
“Substansinya, kita ingin menulis ulang sejarah nasional, sejarah kebangsaan Indonesia ini adalah cara untuk mengkonstruksi narasi besar perjalanan kita sebagai bangsa,” tegasnya.
Sejarah Bisa Perkuat Kohesi Sosial
Lebih lanjut, Singgih Tri Sulistyono menilai, pemahaman sejarah yang benar dapat membangkitkan rasa kebersamaan. Ia menyebut pengalaman sejarah bersama sebagai shared experience yang mempererat kohesi sosial.
Ia menganalogikan bangsa Indonesia sebagai keluarga yang kadang mengalami konflik, namun tetap bertahan karena kesadaran sebagai satu kesatuan.
Ia juga memperingatkan bahwa kesadaran berbangsa yang kuat akan mencegah masyarakat mengambil jalan ekstrem seperti separatisme.
“Ibarat keluarga, kita memang bisa bertengkar. Tapi kalau kita sadar bahwa kita satu keluarga, satu bangsa, kita tidak akan mudah berpisah. Romantika itu justru menguatkan,” ungkapnya.[els]