(IslamToday ID) – Anggota Ombudsman RI, Johanes Widijantoro, menyatakan bahwa hingga kini, masih banyak pekerjaan rumah yang belum dituntaskan dalam upaya pencegahan penyiksaan di Indonesia, meski Konvensi Menentang Penyiksaan atau United Nations Convention Against Torture (UNCAT) telah diratifikasi sejak 27 tahun lalu.
Hal itu, ia sampaikan seusai acara peringatan Hari Anti Penyiksaan Internasional, dalam kegiatan yang digelar Koalisi Kerja Sama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP), di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Rabu (25/6/2025).
“Sebagaimana KuPP itu terbentuk sebagai sebuah komitmen bersama enam lembaga, kita ingin memberi perhatian lebih pada isu-isu penyiksaan yang masih terjadi di tahanan, di lapas-lapas, di ruang-ruang serupa tahanan. Kami berkumpul untuk membangun sinergi karena kita disatukan dalam satu isu ini,” ujar Johanes.
Johanes menekankan, KuPP tetap memberikan perhatian kepada semua bentuk pelanggaran HAM.
Namun, lanjutnya, fokus utama KuPP adalah menagih komitmen negara terhadap implementasi UNCAT.
“Tanpa menafikan isu-isu lain, kami melihat bahwa 27 tahun perjalanan konvensi anti penyiksaan masih menyisakan banyak PR. Kita dorong negara untuk melangkah lebih maju dalam pencegahan,” jelasnya.
Penyiksaan Terjadi di Ruang Tertutup
Lebih lanjut, ihwal masih minimnya laporan penyiksaan, Johanes mengungkapkan tantangan besar dalam menembus peristiwa yang terjadi di ruang-ruang gelap dan tertutup.
“Penyiksaan itu kan sering terjadi di ruang gelap. Tidak mudah bagi korban untuk melapor karena bisa jadi tidak mau, tidak mampu, atau tidak punya kuasa untuk bersuara,” imbuh Johanes.
Karena itu, KuPP mendorong pembenahan sistemik pada ruang-ruang penahanan dengan membangun mekanisme pencegahan yang kuat dan intensif.
Ia menuturkan, harus ada sarana prasarana dan sistem pengawasan, yang dapat menekan dan mengeliminasi penyiksaan.
Penyiksaan Bisa Terjadi Kepada Siapa Saja
Wakil Ketua LPSK, Susilaningtias, menambahkan bahwa kekerasan dan penyiksaan tidak hanya terjadi dalam kasus-kasus tertentu seperti narkotika atau terorisme, tetapi bisa dialami oleh siapa saja.
“Jadi memang kami temukan tidak ada yang spesifik. Kayak kemarin kan kasus KS (kekerasan seksual), yang bersangkutan ditahan karena kasus KS, tapi justru mengalami penyiksaan juga. Artinya itu bisa terjadi kepada siapa saja,” ungkapnya.
Menurut Susi, tidak ada alasan untuk mentoleransi kekerasan, apapun latar belakang hukum korban.
“Kalau kita bicara korban, kita tidak bicara ini teroris atau pencuri ayam. Itu tidak relevan. Tindakan penyiksaan itu tetap salah dan tidak bisa ditolerir,” ucap Johanes menimpali.
Ratifikasi OPCAT & Pembentukan NPM Mendesak
Sementara itu, salah satu sorotan utama KuPP adalah mendorong pemerintah untuk segera meratifikasi Protokol Opsional UNCAT (OPCAT) dan membentuk National Preventive Mechanism (NPM).
Salah satu hal penting, kata Johanes, dari protokol opsional UNCAT ini adalah adanya mekanisme nasional pencegahan, yang punya kekuatan untuk memasuki ruang-ruang tertutup tadi.
“Ini concern-nya pada pencegahan, bukan penindakan,” sambung Anggota Ombudsman RI itu.
Ia pun berpendapat, bahwa ratifikasi OPCAT tidak perlu ditakuti oleh negara, karena pendekatannya tetap konstruktif dan bersifat pencegahan.
Lebih lanjut, KuPP juga mendorong Menteri HAM agar ada Perpres yang memberi legalitas kuat kepada KuPP.
Pasalnya, saat ini embrio dari NPM itu adalah lembaga-lembaga yang tergabung di dalam KuPP.
Antara lain: Ombudsman RI, Komnas HAM, Komnas Perempuan, LPSK, KPAI dan Komisi Nasional Disabilitas (KND).
Selain itu, Susilaningtias menambahkan, legalitas bukan hanya penting untuk kegiatan KuPP, tetapi juga agar negara memiliki kebijakan menyeluruh termasuk pemulihan terhadap korban.
“Termasuk legalitas itu gak hanya berkaitan dengan kegiatan KuPP, tapi juga ada pencegahan dan pemulihan terhadap korbannya. Itu yang kami dorong kepada Pak Wamen (HAM) agar segera ada kebijakan dari pemerintah,” pungkas Susi.[nnh]