(IslamToday ID) — Guru Besar Filsafat Intelijen Abdullah Mahmud Hendropriyono menegaskan, bahwa penulisan ulang sejarah Indonesia seharusnya tidak menjadi proyek politik. Ia mengkritik langkah Kementerian Kebudayaan (kemenkebud) yang ingin menginisiasi penulisan ulang sejarah nasional.
“Itu kerjaan orang kampus, bukan politisi. Kalau kita yang tulis, pasti banyak pesanan, politik, uang, dan kepentingan,” kata Hendro dalam keterangannya , dilansir dari kanal YouTube Mahfud MD Official, Ahad (29/6/2025).
Sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) pertama RI, Hendro menilai sejarah adalah wilayah sains, bukan arena propaganda kekuasaan.
Usul Sejarah Ditulis Akademisi Asing, Termasuk dari Belanda
Hendro menyarankan agar sejarah Indonesia ditulis oleh akademisi luar negeri, termasuk dari Belanda. Menurutnya, langkah itu justru lebih objektif dan ilmiah.
“Tanpa peneliti Belanda, kita tidak tahu Borobudur dibangun Dinasti Syailendra. Kalau hanya mengandalkan cerita rakyat, kita hanya dapat mitos, bukan ilmu,” jelasnya.
Ia mengatakan, penulisan sejarah membutuhkan pendekatan akademik, bukan nasionalisme kosong yang anti terhadap sumber luar.
Sejarah Selalu Ditulis oleh yang Menang
Hendro juga menyatakan kenyataan pahit bahwa pihak yang menang selalu menulis sejarah. Karena itu, ia menolak upaya pemerintah atau kelompok yang terlibat langsung dalam konflik masa lalu untuk menulis ulang sejarah.
“Yang kalah tidak bisa nulis sejarah, hidup saja sudah syukur. Jadi jangan yang menang atau yang kalah yang nulis, biar pihak ketiga dari kampus yang independen,” ucap Hendro.
Mahfud MD: Negara Tak Boleh Tulis Sejarah Versi Sendiri
Guru Besar Hukum Tata Negara Mahfud MD membenarkan bahwa pemerintah pernah memasukkan usulan penulisan ulang sejarah ke dalam agenda kabinet. Presiden Jokowi dan Mahfud sendiri memicu munculnya usulan itu setelah mereka mengeluarkan kebijakan non-yudisial bagi korban pelanggaran HAM berat.
Mahfud mengungkap, bahwa saat itu tokoh-tokoh dari LIPI, UGM, dan LSM datang meminta pemerintah menulis ulang sejarah peristiwa ’65. Pak Nadiem menyetujui usulan itu, tetapi Mahfud menolaknya.
Mahfud menegaskan bahwa negara tidak boleh menulis sejarah karena berisiko menyesuaikannya dengan kepentingan politik penguasa saat itu.
“Kita sediakan dananya saja, akademisi yang tulis. Biarkan hasilnya beragam: versi Cornell, versi UGM, versi NU, dan sebagainya,” imbuhnya.
Kritik terhadap Penghilangan Peran Tokoh Ulama
Mahfud juga menyampaikan kritik publik yang menilai penulisan sejarah versi pemerintah telah mengabaikan tokoh-tokoh penting umat Islam, seperti KH. Hasyim Asy’ari.
“KH. Hasyim itu punya peran besar lawan Belanda, tapi tidak masuk sejarah resmi. Itu contoh kenapa negara tidak boleh menulis sejarah sendiri,” tutur Mahfud.
Menurutnya, penyusun buku pelajaran sebaiknya hanya mencantumkan fakta-fakta penting seperti kemerdekaan dan UUD 1945. Namun untuk peristiwa-peristiwa politik yang memicu kontroversi, negara sebaiknya tidak ikut campur.
Penulisan Sejarah Harus Netral dan Berbasis Metodologi
Hendropriyono dan Mahfud MD sama-sama menegaskan bahwa akademisi independen harus menulis sejarah dengan metodologi ilmiah yang ketat. Keduanya mendorong hadirnya beragam perspektif agar bangsa ini tidak terjebak dalam narasi tunggal yang berpihak pada kekuasaan.
“Penulisan sejarah bukan alat untuk memenangkan wacana politik. Ia adalah sarana menegakkan kebenaran bagi generasi masa depan,” pungkas Mahfud MD. [nfl]