(IslamToday ID) – Ekonom dari Bright Institute, Awalil Rizky menanggapi laporan terbaru pemerintah mengenai total utang Indonesia yang telah menembus angka Rp 10.269 triliun pada 2025. Menurutnya, data tersebut bukan hal mengejutkan, melainkan kelanjutan dari analisis yang ia sampaikan sejak tahun lalu terkait adanya komponen utang yang kerap luput dari penyampaian rutin ke publik.
Awalil mengingatkan pada akhir 2023 pemerintah pernah menyebut total utang hanya Rp 8.143 triliun. Jumlah itu terdiri dari pinjaman luar negeri dan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Namun, dalam dokumen resmi lainnya, utang sebenarnya tercatat sebesar Rp 9.537 triliun, angka yang menurutnya lebih mencerminkan kondisi riil.
“Waktu itu saya bilang utangnya Rp 9.537 triliun, tapi justru dituduh menyebarkan hoaks,” kata Awalil, dikutip dari kanal YouTube Hersubeno Point, Selasa (8/7/2025).
Ia menjelaskan bahwa selisih angka tersebut berasal dari sejumlah komponen yang belum dimasukkan secara utuh, seperti bunga jatuh tempo, utang subsidi kepada BUMN seperti PLN dan Pertamina, serta kewajiban-kewajiban pemerintah lainnya.
Setelah Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengumumkan secara terbuka bahwa total utang mencapai Rp 10.269 triliun, Awalil menilai hal itu justru memperkuat validitas temuannya.
“Yang diumumkan sekarang bukan lanjutan dari Rp 8.143 triliun, tapi dari angka riil Rp 9.537 triliun. Saya justru heran kenapa Sri Mulyani sekarang mengakui? Tapi itu artinya pemerintah sudah lebih jujur soal kondisi utang kita,” ungkapnya.
Awalil juga menyoroti beban fiskal lain yang belum dicatat sebagai utang secara transparan, yakni kewajiban pensiun jangka panjang bagi PNS dan TNI/Polri. Menurutnya, pembayaran pensiun yang selama ini dibebankan ke belanja pegawai dalam APBN seharusnya sejak awal diserahkan kepada lembaga pengelola dana pensiun seperti Taspen atau Asabri.
“Jika kewajiban pensiun ini dimasukkan, total utang dan kewajiban pemerintah sebenarnya bisa mencapai Rp 13.825 triliun. Apalagi jumlah pensiunan terus bertambah dan harapan hidup juga meningkat,” jelasnya.
Ia pun menyarankan agar pemerintah mengikuti jejak sejumlah negara yang telah memisahkan pengelolaan dana pensiun dari APBN demi menjaga transparansi dan keberlanjutan fiskal.
“Selama beban pensiun masih ditanggung APBN, maka wajar jika kewajiban pemerintah terlihat membengkak. Ini karena negara belum menyerahkannya kepada lembaga khusus saat pegawai masih aktif,” pungkas Awalil. [wip]