(IslamToday.id) — Keberlangsungan Aceh sebagai kawasan yang berdaulat dengan memiliki rentang waktu yang sangat panjang. Sistem peredaran mata uang logam pada periode kesultanan Islam dari kurun waktu abad XIII hingga awal abad XVII telah diuraikan pada artikel sebelumnya. Sistem uang logam tersebut tidak pernah mengalami perubahan hingga pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Beberapa perubahan tersebut meliputi motif, tulisan,nilai tukar, jenis dan sebaran wilayah peredarannya.
Masih dikutip dari Makalah Rusdi Sufi dalam Seminar tentang Pasai Kota Pelabuhan Jalan Sutra pada taun 1992 menyatakan bahwa pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, kebijakan yang diambil dalam urusan mata uang adalah dengan membuat perhitungan baru dalam peacahan derham Aceh. Sultan Iskandar Muda telah menetapkan dari jumlah emas yang sama tanpa mengubah kadar emasnya, 1 uang emas (1 derham) dijadikan 5 derham. Meskipun nilai emas yang sebenarnya telah dikurangi, tetapi nilai peredarannya masih tetap dapat dipertahankan seperti sebelumnya yaitu: 4 derham Aceh tetap bernilai 1 ringgit Spanyol. Hal ini tentu menunjukkan bahwa pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, nilai emas atau nilai uang yang berasal dari Aceh mengalami enaikan nilai tukar. Adapun dari sisi desain mata uang, derham yang dikeluarkan oleh Sultan Iskadar Muda pada sisi muka terdapat tulisan namanya yaitu Sultan Iskandar Muda dan pada sisi lainnya tertulis Johan berdaulat fil-Alam.
Di bawah pemerintahan Sultanah Tajul Alam Safiatuddinsyah putri Sultan Iskandar Muda yang memerintah antara tahun 1641-1675, dilakukan lagi pengurangan timbangan emas dari sebuah derham; bahkan sultanah ini juga mengurangi pula kadar emasnya. Dari sejumlah emas untuk menempa satu ringgit Spanyol ditempa menjadi enam buah derham dengan mengurangi kadar emasnya dari 9 menjadi 8 mutu meuih atau menurut hitungan emas Belanda menjadi 19,2 karat. Walaupun demikian derham ini tidak berubah dalam nilai tetap 4 derham sama dengan 1 ringgit Spanyol. Selain membuat kebijakan dalam penempaan kadar emas, Sultanah Tajul Alam juga memerintahkan pengumpulan semua derham yang telah dikeluarkan sebelum masa pemerintahannya untuk kemudian dilebur menjadi derham baru. Itulah sebabnya mungkin derham-derham yang berasal dari sultan-sultan yang memerintah di Kerajaan Aceh sebelum sultanah ini sangat sukar diperoleh.
Seperti halnya Sultan Iskandar Muda, dalam desain mata uang baru Sultanah Tajul Alam pada derham yang dikeluarkan, ditulis namanya sendiri Safiatuddinsyah pada satu sisi dan pada sisi/muka lainnya bertuliskan gelarnya sebagai Raja yaitu Paduka Sri Sultan Tajul Alam. Menarik untuk dietahui, bahwa semua derham yang pernah dikeluarkan oleh sultan-sultan di Kerajaan Aceh tidak dinyatakan tahun pembuatannya. Hal ini mungkin dimaksudkan untuk tetap menjamin nilai sirkulasinya hingga pada masa-masa pemerintahan sultan berikutnya.
Sesudah pemerintahan Tajul Alam tidak ada lagi sultan-sultan Aceh yang menempa mata uang derham. Baru pada masa pemerintahan Sultan Syamsul Alam (1723) ditempa sejenis mata uang seng yang dinamakan keueh Cot Bada. Penamaan demikian karena mata uang ini beredar di wilayah Cot Bada saja yang memiliki pasar dengan peredaran barang dan jasa melebihi daerah-daerah lainnya. Mata uang ini memiliki nilai 140 Cot Bada sama dengan 1 ringgit Spanyol. Selanjutnya pengganti Sultan Syamsul Alam yaitu Sultan Alauddin Akhmadsyah (1723-1735) menempa lagi pecahan mata uang timah yang juga dinamakan keueh. Ia menetapkan bahwa 800 keueh bernilai 1 ringgit Spanyol. Dengan demikian, mata uang berlaku di Kerajaan Aceh pada waktu itu adalah 1 ringgit Spanyol sama dengan 4 derham, 1 derham sama dengan 200 keueh.

Pembuatan mata uang keueh terus berlanjut pada pemerintahan sultan-sultan hingga masa pemerintahan Sultan Alauddin Mahmudsyah (1870-1874). Sejak waktu itu dan seterusnya Kesultanan Aceh terlibat perang dengan Belanda. Bentuk uang keueh yang dikeluarkan oleh masing-masing sultan tidak serupa. Variasinya terdapat pada nilai untuk setiap ringgit Spanyol pada masa pemerintahan masing-masing. Tulisan yang tedapat di atasnya tidak begitu terang, kadang-kadang pada sisi depannya terdapat aksara Arab yang berbunyi bandar atjeh dar-as-salam dan di sisi lainnya terdapat tiga buah figur semacam pedang yang dibaringkan dan di atasnya diberi beberapa buah titik. Gagang pedang ini kadang-kadang mengarah ke kiri dan kadang-kadang ke kanan. Beberapa mata uang keueh ini ada yang memuat tahun pembuatannya, tetapi kebanyakan tidak. Pembuatan mata uang keueh ini memakai tuangan yang dibuat dari tembaga dan batu. Acuan batu terbuat dari batu pasir berwarna abu-abu yang lazim dipakai untuk batu-batu nisan.
Acuan-acuan ini teridri dari atas dua buah balok kecil yang sama besar dengan sebuah saluran terbuka di antaranya, di mana timah dapat mengalir ke dalam acuan tersebut. Cara pembuatannya persis sama seperti teknik pembuaran peluru dan rantai untuk membuat jala penangkap ikan.
Berbeda dengan derham yang berlaku di seluruh Kerajaan Aceh, sirkulasi mata uang keueh ini terbatas di wilayah Aceh Besar saja. Di Pidie misalnya mata uang ini tidak berlaku sebagai alat tukar. Di sini para Hulubalang (pejabat pemeerintaan setempat) mendapat izin untuk menempa/mengeluarkan mata uang sendiri yang dinamakan gupang (kupang) dan busok yang terbuat dari perak. Pembuatnya adalah orang-orang Keling. Selain itu ada pula uang peng yang terbuat dari material tembaga dan dibuat setalah masuknya orang-orang VOC dan Inggris yang memiliki nilai lebih rendah atau bernilai 2½ duet (mata uang tembaga yang dikeluaran pada abad XVI).
Pada mata uang gupang terdapat gambar, sedangkan pada busok tidak. Pada sebuah sisi gupang terdapat tulisan yang dapat dibaca yaitu paduka Sultan Alauddinsyah, pada sisi satunya tertulis 6 (=peng) azizul berkat. Adapun sistem nilai terhadap mata uang yang beredar di Pidie adalah 1 ringgit Spanyol sama dengan 4 derham, 1 derham sama dengan 4 gupang, 1 gupang sama dengan 2 busok dan 1 busok sama dengan 3 peng.
Penulis: Muh Sidiq HM
Editor: Tori Nuariza