ISLAMTODAY — Sejarawan Tiar Anwar Bachtiar mengungkapkan bahwa penyebaran Islam di Nusantara erat kaitannya dengan kuatnya jaringan ilmu atau epistemologi. Bahkan jaringan keilmuan menjadi penopang utama dari penyebaran agama Islam di berbagai kawasan.
Relasi antara tradisi keilmuan dan kesultanan adalah semakin kuat tradisi ilmu maka akan semakin berjaya dan kuatlah kesultanan, kekhalifahan tersebut dan hal itu berlaku sebaliknya.
“Kesultanan dan kekhalifahan amat sangat membutuhkan ilmu jadi ketika ilmunya lemah, tidak ada maka dia biasanya kesultanan, kekhalifahan itu juga lemah adanya,” kata Tiar ketika menjadi pembicara di webinar di AQL Center (13/9/2020).
Pengaruh ilmu dan ulama di kesultanan Nusantara terlihat di Jawa. Misalnya di Kesultanan Demak, kesultanan ini didirikan oleh para ulama yang disebut sebagai walisongo. Berdirinya kesultanan Demak merupakan puncak dari telah tersebarnya pengaruh Islam di Jawa.
Bahkan sebelum didirikan Kesultanan Demak, pengaruh Islam telah lebih dulu masuk di Istana Majapahit. Hal serupa juga berlaku di Kesultanan Banten. Dimana pengaruh Islam telah sampai di kerajaan-kerajaan Sunda.
“Ini menandakan bahwa jejaring ilmu pengetahuan atau jejaring epistemologi itu mendahului kekuasaan para sultan,” ucapnya.
Lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa adanya relasi, hubungan politik antar kesultanan yang ada di Nusantara terbangun setelah pengaruh Islam dalam bidang keilmuan dan kekuasaan di suatu wilayah telah kuat.
Hal ini dipertegas oleh pernyataan dari Founder Sultan Abul Mafakhir Institute yang juga Sejarawan Banten, Mufti Ali.
Ia mengungkapkan bahwa berdirinya Kesultanan Banten tidak lepas dari kiprah salah seorang walisongo, Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati dan putranya, Sultan Hasanudin adalah sosok sentral yang memiliki peran besar dengan berdirinya Kesultanan Banten.
Mufti Ali mengungkapkan jika penyebaran agama Islam di Banten terjadi jauh sebelum berdirinya Kesultanan Banten di abad ke-16.
Hal ini disebabkan oleh kondisi geografis Banten yang terletak di bagian ujung Barat pulau Jawa. Di mana Selat Sunda merupakan jalur strategis perdagangan antar pedagang dari berbagai negara.
Ia mengungkapkan jika keberadan Kesultanan Banten erat kaitannya dengan Kesultanan Demak.
“Kalau Kesultanan Banten itu berbicara tentang institusi dan entitas politik, dan itu berlangsung ketika Sunan Gunung Jati dibantu oleh anaknya Sultan Hasanudin itu mendirikan sebuah Kesultanan Islam… Dan itu ada hubung kait dengan misi yang diemban untuk memperkuat hegemoni, jejaring perdagangan Islam yang sudah sedemikian kuat di Demak,” tutur Mufti Ali.

Eksistensi ‘Kompeni’ Banten dan Relasi Dengan Turki Utsmani
Mufti Ali menerangkan bahwa Kesultanan Banten merupakan negara niaga yang sangat memperhatikan urusan perdagangan. Wajar jika lima tahun pasca kekalahannya dengan Portugis dalam merebutkan pelabuhan Sunda Kelapa (1526/1527), Sultan Hasanudin menjalin hubungan dagang dengan Portugis.
Ia menambahkan bukti lainnya majunya perdagangan di Kesultanan Banten terjadi pada masa Sultan Ageng Tirtayasa. Pada tahun 1663, ia telah mampu mengirimkan kapal dagangnya langsung ke Filipina. Selain ke Manila (Filipina), kapal dagang Banten pun telah sampai di wilayah lain seperti di Makau (China), Yaman, Hijaz tidak hanya itu seluruh pelabuhan di kawasan Asia Tenggara pun telah disinggahi oleh kapal dagang Kesultanan Banten.
“Dan misi dagang ini, orang Perancis, orang Portugis, orang Spanyol menyebutnya sebagai Kompeni Banten. Artinya perusahaan dagang tidak menggunakan dan menyewa kapal-kapal Eropa tapi menggunakan kapal sendiri,” tuturnya.
“Ngangkut komoditas sendiri dan membeli komoditas di pelabuhan simpul di Banten, lalu dikirim ke pelabuhan internasional supaya mendapatkan keuntungan yang berlipat-lipat. Dan sekaligus juga tidak bergantung kepada kapal-kapal asing,” terang Mufti Ali.
Catatan mengenai kompeni Banten ini muncul dari catatan Eropa seperti Inggris. Sebab Inggris merupakan negara yang memiliki kantor perwakilan dagang terkuat dan terbesar se-Asia Tenggara. Kantor perwakilan tersebutlah yang melaporkan melalui catatan rutinnya ke London.
Kompeni Banten mulai diperhitungkan setelah Kesultanan Banten pada masa Sultan Ageng Tirtayasa sekitar tahun 1660an hingga 1670an, ia memesan 10 kapal baru di galangan kapal Inggris di Rembang. Tonase kapal yang dipesan tersebut termasuk sangat besar sehingga sejak saat itu kapal dagang Banten mampu melayari dua samudra, Samudra Hindia dan Pasifik.
“Sejak itu transformasi moda angkut Kesultanan Banten itu berubah dari perahu yang berlayar antar pelabuhan kecil di Asia Tenggara menjadi sebuah entitas yang memiliki kapal-kapal ukuran besar yang mampu berlayar di samudra dan bersaing dengan kompeni-kompeni besar bangsa-bangsa yang lain,” ucap Mufti.

Relasi perdagangan pula yang nantinya membuat Kesultanan Banten dan Kesultanan Turki Utsmani itu terjadi di abad ke-17. Hal yang perlu menjadi catatan adalah fakta bahwa kapal-kapal dagang Kesultanan Banten telah singgah di pelabuhan-pelabuhan dagang wilayah kekuasaan Kesultanan Turki Utsmani. Seperti di kawasan Mocha (Yaman), dan Bashrah.
Selain membawa dampak baik bagi terbukanya jalinan dagang dengan Turki Utsmani. Kemajuan dunia perdagangan di Banten juga membawa banyak manfaat dari segi keilmuan, yakni dengan banyaknya pengiriman ulama ke Banten.
Kesultanan Banten juga menjadi ramai akan aktivitas keilmuan seiring dengan banyaknya ulama internasional dan ramainya para ulama dari berbagai daerah di Nusantara.
Mufti Ali menyampaikan majunya perdagangan di Banten juga membawa dampak kemakmuran bagi wilayah tersebut. Kesultanan Banten mampu mengundang semua tenaga ahli di bidangnya baik itu di bidang teknologi maupun di bidang militer. Pada masa itu terdapat ratusan tentara bayaran asal Turki Utsmani di wilayah Kesultanan Banten. Selain itu banyak pula pekerja-pekerja asing asal Inggris yang bekerja di bawah kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa.
Penulis: Kukuh Subekti