(IslamToday ID) – Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Mike Pompeo menaikkan tensi perseteruan antara Washington dengan Beijing mengenai status Hong Kong. Ia menuduh komunis China telah melanggar janji dengan Barat dan bertindak seperti Nazi Jerman dalam Perang Dunia II. Media China pun merespons dengan menuduh Pompeo bertindak seperti kepala propaganda Nazi, Joseph Goebbels.
Status Hong Kong sebagai pusat keuangan global yang melayani Beijing dan kepentingan perusahaan multinasional AS bisa berakhir jika eskalasi politik antara pemerintahan Trump dan otoritas China tak kunjung mereda. Demikian diperingatkan oleh pakar.
Akhir bulan lalu, pemerintah China mengesahkan UU Keamanan Nasional baru untuk wilayah Hong Kong dengan tujuan untuk mencegah kegiatan separatis, subversif, dan terorisme. Pengesahan UU tersebut memicu protes baru di kota itu.
Presiden AS Donald Trump menuduh China melanggar janji-janjinya tentang otonomi Hong Kong dengan pendekatan “satu negara, dua sistem” dan menggantinya dengan “satu negara, satu sistem”.
Selanjutnya, Trump meminta penghapusan kebijakan yang memberi perlakuan berbeda dan khusus kepada Hong Kong.
Otoritas China mengecam langkah-langkah AS, menyerukan negara-negara asing untuk segera menghentikan campur tangan mereka. China juga memperingatkan jika Washington terus bersikeras mencampuri Beijing, maka akan dilakukan tindakan pencegahan yang diperlukan.
Sementara itu, otoritas Hong Kong telah menepis kekhawatiran warga tentang dampak kampanye dari tekanan AS. Menteri Keuangan Paul Chan menunjukkan bahwa AS hanya menyumbang 0,1 persen dari ekspor barang-barang manufaktur Hong Kong.
Hong Kong, di sisi lain, adalah importir anggur AS terbesar ketiga, dan importir daging sapi AS terbesar keempat. Selain itu, katanya, perusahaan-perusahaan AS memiliki aset yang cukup besar di industri layanan, keuangan, dan layanan profesional kawasan. Secara keseluruhan, ekspor AS ke Hong Kong dan investasi langsung SAR di AS telah menghasilkan lebih dari 210.000 pekerjaan AS. Demikian menurut perhitungan Chan.
Menurut pejabat itu, sekitar 1.300 perusahaan AS beroperasi di Hong Kong, termasuk hampir 300 kantor pusat regional untuk operasi Asia. Secara total, kata Chan, operasi AS telah menjaring Washington surplus perdagangan mendekati 300 miliar dolar AS selama dekade terakhir, membantu menjembatani kesenjangan dalam defisit perdagangan besar-besaran AS 350-400 miliar dolar AS per tahun dengan China.
Pergerakan bebas modal dan kurangnya kontrol mata uang adalah keuntungan utama yang dimiliki bisnis AS di Hong Kong. Dengan beroperasi di wilayah otonomi, memberi mereka jalan ke China tanpa harus mengikuti undang-undang investasi dan operasi yang lebih ketat di sana.
Ada dua manfaat yang diperoleh, kata Pavel Bazhanov, seorang spesialis hukum bisnis China. “Bagi China, Hong Kong berharga sebagai pusat keuangan internasional. Ini sebenarnya adalah salah satu alasan mengapa Beijing mempertahankan hukum dan status otonomi yang ada sebelumnya di sana. Bisnis AS di Hong Kong akan menghadapi kerugian, seperti halnya kota itu sendiri,” katanya.
Kekhawatiran yang sama juga digaungkan oleh Alexei Kuznetsov, ekonom dan Direktur Pelaksana Institut Ilmu Informasi Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia untuk Ilmu Sosial. “Sejauh pertanyaan tentang seberapa bermanfaat (status Hong Kong) bagi China: bodoh jika membantai angsa yang bertelur emas,” katanya.
Pada saat yang sama, Kuznetsov mencatat bahwa China adalah negara yang berbeda hari ini daripada di tahun 1997. “Selama beberapa dekade terakhir, RRC telah lepas landas secara dramatis dalam pembangunan, termasuk jika terkait dengan investasi asing. Sehingga tidak ada gunanya untuk berdebat tentang pentingnya zona ekonomi khusus,” katanya.
Diakui, jika AS melepaskan status khusus kota itu, rival regional mereka seperti Singapura dan Tokyo akan sangat senang, karena bakal menjadi penggantinya. [wip]