(IslamToday ID) – Google menghapus aplikasi yang diunduh jutaan orang India terkait ajakan boikot terhadap perangkat lunak China. Sentimen anti-China meningkat di negeri tersebut dalam beberapa bulan terakhir.
Pada 3 Juni, aplikasi “Remove China” telah hilang di Google Play Store. Google menyebut produk tersebut melanggar aturan karena mendorong pengguna Android untuk menghapus atau menonaktifkan aplikasi pihak ketiga.
StartTalk AppLabs yang berbasis di Jaipur, India mengembangkan aplikasi yang bisa digunakan pengguna untuk mengidentifikasi dan menghapus aplikasi yang dikembangkan China seperti TikTok, yang sangat populer di India.
Di halaman pengunduhan, aplikasi ini dibingkai dengan istilah politik yang merujuk pada pernyataan Perdana Menteri (PM) India, Narendra Modi tentang penanganan wabah Covid-19 yang mandiri. Atm Nirbhar Bharat atau India yang mandiri.
Menurut perusahaan analitik Sensor Tower, aplikasi itu diunduh lebih dari 4 juta kali antara akhir Mei hingga 1 Juni dan mendapat nilai 4,9 dari 5 bintang di hampir 180.000 ulasan.
Aplikasi itu memicu perdebatan di kalangan pengembang China yang menargetkan pasar internasional.
Baijing atau Beluga Whale, komunitas online populer untuk eksportir aplikasi China, menyebut bahwa aplikasi tersebut adalah bentuk gangguan pasar dan meminta pengembang China untuk melaporkannya ke Google.
Tabloid China, The Global Times menyatakan aplikasi itu kemungkinan akan mendapat hukuman dari China. Perangkat lunak tersebut juga telah mendapat cemoohan dari para pengguna internet China, Mereka menyarankan orang India membuang smartphone merek China yang biasa dipakai.
Lui Dingding, analis yang berbasis di Beijing, menyatakan lonjakan anti-China saat ini dan inisiatif penggunaan produk India tidak akan berefek jangka panjang, mengingat ketergantungan India pada manufaktur China.
“Dari sudut pandang pragmatis, menggaungkan sentimen semacam itu tidak akan bermanfaat bagi perkembangan industri India karena membutuhkan hubungan ekonomi dan perdagangan dengan China,” kata Liu.
Beberapa pengamat melihat meningkatnya sentimen anti-China itu sebagai bagian dari tren global dan China harus siap.
“Ketika kecemasan seputar hegemoni teknologi China tumbuh, hanya masalah waktu, ini bisa jadi bakal terjadi juga di negara-negara lain,” kata dr Yunhee Ki, seorang konsultan Global Risk Intelligence kepada TRT World, Kamis (11/6/2020).
“Ini risiko bahwa pengembang China harus mulai mempersiapkan sejak sekarang atau mereka tidak akan siap untuk konsekuensi jangka panjang.”
Jejak Digital China
Aplikasi Remove China diluncurkan pada 17 Mei, hanya beberapa hari setelah pertikaian perbatasan terjadi antara pasukan India dan China di pegunungan terpencil dekat Tibet. Kisruh kali ini berbeda dengan kisruh-kisruh sebelumnya, karena memicu sentimen anti-China di negara itu.
Kampanye boikot China juga didukung oleh pendidik dan inovator terkemuka Sonam Wangchuk melalui media sosial. Ia meminta masyarakat India untuk bertanggung jawab dengan menggunakan kekuatan sendiri dan meninggalkan dampak negatif pada impor China.
Tak lama setelah komentar Wangchuk di media sosial, tagar #BoycottMadeInChina mulai menjadi tren.
Aktor Arshad Warsi juga berdebat serupa dengan 2 juta pengikutnya di Twitter.
Seiring dengan meningkatnya ketegangan, kedua negara juga memiliki hubungan ekonomi yang signifikan. Kini India mulai berputar ke arah kemandirian dengan menyapih dan mengurangi ketergantungan pada China.
Pabrikan ponsel pintar China Vivo dan Xiaomi adalah terlaris di India selama kuartal pertama 2020 dan telah menguasai lebih dari separuh pasar. Demikian menurut perusahaan riset Canalys.
India menyatakan akan mengizinkan perusahaan telekomunikasi China, Huawei untuk berpartisipasi dalam beberapa ujicoba 5G. Tapi sepertinya niat itu diurungkan mengingat kekhawatiran global akan 5G China yang dihubungkan dengan ancaman keamanan nasional.
“Mengizinkan Huawei atau ZTE menjadi penyedia peralatan 5G untuk perusahaan telekomunikasi India, itu seperti meminta Partai Komunis China untuk menjalankan pemilihan umum kami,” kata Gautam Chikermane, Wakil Presiden di Observer Research Foundation.
Chikermane menyatakan bahwa inisiatif Belt and Road (BRI) China yang telah lama ditentang oleh India, telah menembus negara itu secara sembunyi-sembunyi. “Satu kesalahan besar di pihak India adalah bahwa hal itu telah memungkinkan akuisisi India Tech oleh Digital BRI,” katanya.
Mengapa China menargetkan teknologi India? Meskipun memiliki sektor teknologi yang dinamis, startup India harus bergantung pada pendanaan luar negeri yang signifikan.
“India belum mengembangkan industri modal ventura yang kuat yang dapat memelihara dan mempertahankan ekosistem startup tanpa bergantung pada modal asing,” kata Nandini Sarma, seorang rekan di Observer Research Foundation kepada TRT World.
Investasi China cukup besar di sektor teknologi India, mencapai hampir 2/3 startup dengan nilai lebih dari 1 miliar dolar AS. Alibaba memiliki Paytm dan memiliki saham di Zomato, sementara Tencent adalah investor utama di Swiggy, Flipkart, dan Ola.
“Ketika perusahaan-perusahaan China berinvestasi dalam portal pembayaran online dan layanan berbagi perjalanan, ada kemungkinan nyata bahwa perusahaan-perusahaan ini akan mendapatkan akses ke informasi sensitif berupa profil komprehensif jutaan warga India,” kata Sarma.
Menghadapi persaingan dengan perusahaan-perusahaan yang dikelola China, korporasi India berada pada posisi yang kurang menguntungkan. Tetapi jika ada ancaman terhadap perusahaan India bukan dari FDI China, tetapi ekspor.
Departemen Promosi Industri dan Perdagangan India menghitung FDI China dari 2000-2019 sebesar 2,3 miliar dolar AS. Ini hanya menyumbang 0,52 persen dari semua aliran masuk FDI di negara itu.
Pada 2019, perdagangan bilateral menyumbang 92 miliar dolar AS. Namun, India memiliki defisit perdagangan yang cukup besar dengan China yang mencapai lebih dari 55 miliar dolar AS. Celah yang telah coba dijembatani melalui investasi selama bertahun-tahun.
Kekhawatiran Proteksionis
Sejak China salah menangani wabah Covid-19 yang dampaknya ekonomi global menjadi tidak menentu, banyak negara khususnya India menjadi ragu-ragu jika harus menggantungkan ekonomi pada Beijing.
Praktik perdagangan China dan dominasi rantai pasokan telah menjadi lebih cermat, mendorong banyak negara untuk memodifikasi kebijakan domestik mereka, terutama untuk melindungi perusahaan manufaktur dan teknologi lokal.
Khawatir pengambilalihan perusahaan-perusahaan China yang cenderung oportunistik, pemerintah India memperketat kebijakan FDI pada bulan April.
Beberapa pengamat kurang tertarik pada langkah FDI atau dorongan proteksionis saat ekonomi India berada dalam kelesuan, mengingat kesengsaraan fiskal yang disebabkan oleh pandemi.
“Pada saat korporasi India sempoyongan di bawah krisis likuiditas yang parah akibat meningkatnya aset berkinerja buruk dan bank tidak terlalu tertarik untuk memberikan pinjaman, melarang investasi China tidak menjanjikan,” kata Steven Raj Padakandla, Asisten Profesor Ekonomi di IMT.
Ia berpendapat bahwa apa yang mendesak untuk ekonomi India yang terguncang adalah menghasilkan lapangan kerja yang memadai dan pemasukan modal ke dalam sektor swasta. Jika itu masalahnya, maka tidak mungkin ada larangan selektif terhadap modal asing.
“Modi telah menetapkan rencana ambisius bagi India untuk menggunakan krisis dan muncul sebagai pemain kunci dalam manufaktur global dan rantai pasokan pasca Covid-19. Visi semacam itu membutuhkan modal besar dan ide-ide berwawasan ke depan. Dan berpegang teguh pada sisa terakhir proteksionisme tidak akan membantu,” pungkasnya.
Setiap solusi untuk mengatasi ketidakseimbangan perdagangan dengan China juga akan mengharuskan India untuk lebih terintegrasi dengan halaman belakangnya sendiri.
Sebuah ringkasan kebijakan yang diterbitkan oleh Brookings, India menyoroti konektivitas perdagangan India yang terbatas dengan Asia Selatan dan dominasi China.
“Terlepas dari kedekatan geografis dan keberadaan perjanjian perdagangan bebas bilateral dan multilateral, Asia Selatan adalah salah satu daerah yang paling tidak terintegrasi secara ekonomi di dunia,” tulis Riya Sinha dan Niara Sareen.
Menurut laporan singkat, perdagangan intra-regional di Asia Selatan termasuk yang terendah di dunia yaitu 5,6 persen. Dan perdagangan India dengan negara-negara Asia Selatan (Afghanistan, Bangladesh, Bhutan, Maladewa, Myanmar, Nepal, Pakistan, dan Sri Lanka) tetap kira-kira antara 1,7 dan 3,8 persen dari perdagangan globalnya.
Sementara itu, China secara konsisten meningkatkan ekspornya ke wilayah ini dari 8 miliar dolar AS pada 2005 menjadi 52 miliar dolar AS pada 2018, pertumbuhan 546 persen.
Tidak ada perbaikan yang mudah. Risiko yang ditimbulkan oleh teknologi dan FDI China terhadap kepentingan India tidak dapat diatasi kecuali India benar-benar menghadapi sejumlah tantangan, dari mekanisme pembiayaan domestik hingga integrasi perdagangan regional. Perekonomiannya yang sakit akan membutuhkan lebih banyak investasi. [wip]