(IslamToday ID) – Warga Palestina berbagi kiat di media sosial dalam menghadapi serangan aparat keamanan untuk para demonstran di Amerika Serikat (AS). Seperti diketahui, demo rusuh dalam kasus tewasnya George Floyd di AS, polisi anti huru-hara menggunakan sejumlah senjata seperti peluru karet, gas air mata, semprotan merica, dan granat pingsan untuk membubarkan aksi massa.
Wilayah Palestina di Tepi Barat dan Gaza sudah biasa dan berpengalaman menghadapi pasukan keamanan karena hidup di bawah pendudukan Israel selama puluhan tahun.
Menurut organisasi Jewish Voice for Peace (JVP) dan Reseaching of American-Israeli Alliance (RAIA), tema umum yang menjadi pembahasan antara AS dan Israel adalah berbagi taktik dan keahlian dalam praktik kekerasan negara, yang telah berlangsung selama 18 tahun.
Beberapa bulan setelah serangan 11 September, delegasi penegak hukum AS menghadiri acara pelatihan resmi pertama mereka ke Israel untuk bertukar keahlian dalam “kontra-terorisme”.
Sejak itu, ribuan orang lainnya dari AS seperti agen-agen dari FBI, CIA, dan Immigration and Customs Enforcement (ICE) juga berangkat ke Israel untuk mendapatkan pendidikan serupa yang disponsori oleh organisasi lobi Israel sayap kanan.
Tetapi alih-alih mempromosikan sistem keamanan yang efektif untuk masyarakat, program ini malah memfasilitasi pertukaran taktik untuk melakukan kekerasan oleh aparat, termasuk pengawasan massal, identifikasi rasial, dan menangani demonstrasi dan perbedaan pendapat. Demikian menurut JVP dan laporan RAIA pada 2018 berjudul Deadly Exchange, yang merinci sejauh mana kerja sama tersebut.
Di antara ribuan petugas penegak hukum AS yang dilaporkan berpartisipasi dalam pelatihan resmi selama bertahun-tahun adalah Kabupaten Anoka (Minneapolis Utara) Sherrif James Stuart, yang berangkat ke Israel pada bulan Desember.
Eran Efrati, Direktur Eksekutif RAIA, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa saat pelatihan dengan Israel, delegasi AS diminta langsung menyaksikan demonstrasi kekerasan represif saat terjadi unjuk rasa di Tepi Barat, kemudian melakukan patroli di Yerusalem Timur, dan kunjungan ke perbatasan Gaza.
“Delegasi bertemu dengan Shin Bet dan kepala petugas di penjara militer Israel untuk membahas taktik investigasi dengan agen dan polisi otoritas Palestina. Mereka belajar tentang bagaimana Israel menggunakan berbagai cara dalam menekan perbedaan pendapat dengan Palestina. Juga belajar dengan perwakilan dari Departemen Pertahanan dan lainnya tentang keahlian tim keamanan Israel,” kata Efrati.
Supremasi Kulit Putih
Leila, seorang penyelenggara kampanye di JVP, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa program pelatihan hanyalah formalitas karena kekerasan oleh polisi sudah ada di AS selama beberapa dekade.
“Kekerasan yang kita saksikan hari ini di AS adalah 100 persen akibat supremasi kulit putih dan anti-kulit hitam dan rasisme yang dilembagakan di AS,” kata Leila.
“Program pelatihan telah menciptakan peluang bagi angkatan bersenjata AS dan Israel untuk bersatu dan bertukar taktik, serta mempraktikkan kebijakan berbahaya yang sudah ada di kedua negara.”
Di antara topik yang dibahas selama pelatihan ini, para delegasi belajar bagaimana menekan dan menyusup ke kerumunan demonstrasi, kemudian berkoordinasi dengan media untuk diberitakan.
Pelatihan ini juga melibatkan penjualan senjata “pengontrol massa” antara kedua negara, seperti tabung gas air mata buatan AS yang banyak digunakan dalam protes di Oakland, California pada 2011 dan Ferguson, Missouri pada 2014, serta teknologi pengawasan Israel.
American Civil Liberties Union (ACLU) adalah salah satu di antara mereka yang telah mengkritik polisi, termasuk departemen di Oakland, Baltimore, Ferguson dan Boston, karena bekerja sama dengan perusahaan teknologi untuk mengawasi penduduk berdasarkan agama, ras, dan afiliasi politik mereka.
Penjelajah Masjid
Praktik-praktik yang dipakai AS sebagian besar dipengaruhi oleh infiltrasi Israel terhadap komunitas Palestina.
Lawrence Sanchez, seorang perwira CIA yang bekerja untuk “Unit Demografi” Departemen Kepolisian New York (NYPD), yang terdiri dari informan yang dikenal sebagai “penjelajah masjid” memata-matai komunitas muslim, mengakui tim tersebut mendapatkan inspirasi dari praktik-praktik Israel di Palestina.
NYPD juga telah mengirim petugas yang menyamar untuk menyusup ke aksi demo Black Lives Matter dan mengumpulkan catatan identitas pengunjuk rasa, serta kegiatan mereka.
FBI dan Departemen Keamanan Dalam Negeri membenarkan terkait pengawasan mereka terhadap aktivis Black Lives Matter dengan menyebut mereka sebagai “ekstrimis hitam” dan “teroris domestik”.
“Praktik-praktik seperti ini mencerminkan meningkatnya penggunaan retorika keamanan untuk membenarkan pengawasan dan pelanggaran hak-hak warga negara AS berdasarkan ras dan posisi politik mereka. Sebuah praktik yang sudah sepenuhnya dilembagakan di Israel,” kata Deadly Exchange.
“Seperti orang Palestina yang secara sewenang-wenang dicap sebagai ancaman keamanan dan dimasukkan ke dalam daftar Shin Bet, orang-orang kulit berwarna (hitam) dan aktivis keadilan rasial di AS menjadi sasaran pengawasan sistematis.”
Bangun Dunia yang Lebih Baik
Kampanye untuk mengakhiri pelatihan di Israel dimulai pada tahun 2017 dan sejauh ini cukup berhasil. Pada tahun 2018, Durham, North Carolina menjadi kota pertama di AS yang melarang pelatihan polisi dengan militer asing, termasuk dengan Israel, setelah koalisi organisasi masyarakat berhasil melobi dewan kota.
Aman Aberra, anggota koalisi kelompok Demilitarize From Durham2Palestine yang mempelopori kampanye, mengatakan mereka bergerak bersama-sama antara Gerakan Solidaritas Palestina dan Penyelenggara Hitam di Durham.
Kunci kampanye itu, kata Aberra, adalah untuk menyatukan visi divestasi dari “apartheid” dan pendudukan Israel, dan untuk memastikan keselamatan masyarakat lokal terutama bagi yang terpinggirkan, masyarakat kulit hitam dan miskin yang sering menjadi sasaran polisi.
“Apa yang coba dilakukan adalah demiliterisasi yaitu membangun gerakan internasional untuk membangun dunia yang lebih baik bagi semua orang, di mana kita memiliki struktur yang mendukung, memiliki perawatan kesehatan dan perumahan, dan tidak terancam oleh kekerasan negara,” kata Aberra.
Pada Desember 2018, polisi negara bagian Vermont juga membatalkan pelatihan di Israel setelah mendapat tekanan dari penyelenggara setempat.
Leila mengatakan kampanye untuk mengakhiri pelatihan polisi dengan pasukan asing dan negara-negara dengan sejarah pelanggaran HAM sedang berlangsung di Seattle dan Washington DC, merupakan upaya untuk membongkar kebobrokan polisi.
Menyusul protes massa terhadap kebrutalan polisi di seluruh dunia sejak terbunuhnya Floyd, politisi telah memperkenalkan undang-undang untuk mereformasi Departemen Kepolisian, sementara yang lain tidak setuju.
“Ada banyak kekuatan dalam komunitas dan gerakan yang datang, menolak untuk menerima struktur dan pendanaan polisi, menolak untuk menerima bahwa departemen dilatih dan dipersenjatai seperti militer, dan kekerasan sistemik dan brutal yang mereka lakukan pada masyarakat,” kata Erfati. [wip]