(IslamToday ID) – Komunitas internasional terpecah dalam menyikapi konflik di Libya. Ada yang mendukung pemerintah yang diakui secara internasional oleh PBB dan ada yang mendukung panglima Khalifa Haftar.
Serangan Haftar di ibukota Libya, Tripoli pada April lalu terhadap pemerintah telah menarik pemain-pemain regional dan global untuk terlibat seperti Rusia, Amerika Serikat (AS), Italia, Perancis, dan Arab Saudi.
Dalam konteks ini, bagaimana sikap dan pandangan negara-negara di komunitas internasional terhadap Libya:
Turki
Sejak berdirinya Pemerintah Kesepakatan Nasional atau GNA yang didukung PBB pada tahun 2015, Turki telah memberikan dukungan. Menindaklanjuti permintaan GNA, Turki melanjutkan dukungan diplomatik dan militer kepada pemerintah di Tripoli.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan bahwa tujuannya mendukung GNA adalah untuk mendukung pemerintah yang sah dan menghindari tragedi kemanusiaan. Dengan dukungan Turki, GNA mampu memukul mundur milisi Haftar dari Tripoli.
Amerika Serikat
Pada akhir 2015, AS termasuk salah satu negara yang menginisiasi lahirnya GNA, sebuah perjanjian politik dengan suara bulat disahkan oleh Dewan Keamanan PBB. Namun, ketika Donald Trump menjadi presiden pada Januari 2017, AS semakin mundur dan kurang aktif memainkan perannya di Libya.
Saat Haftar mulai menyerang di Tripoli pada April 2019, AS tampaknya telah mengubah posisi mereka untuk mendukung Haftar. AS menyatakan Haftar memiliki peran penting dalam memerangi terorisme dan mengamankan sumber daya minyak Libya.
Haftar adalah warga negara AS dan pernah menjadi aset CIA. Selain itu, AS dengan cepat memblokir pernyataan DK PBB yang mengutuk serangan udara di pusat penahanan migran, di mana lebih dari 40 orang tewas, dan yang disalahkan GNA. Banyak yang berpendapat bahwa upaya Trump untuk mengubah posisi AS adalah hasil dari lobi pendukung Haftar, yakni Uni Emirat Arab (UEA), Mesir, dan Arab Saudi.
AS secara resmi mendukung GNA, tetapi belum menawarkan bantuan militer dalam pertempuran melawan Haftar. Kekhawatiran utama AS di kawasan itu adalah kontra terorisme dan ekspansi Rusia, dan Washington telah melakukan serangan udara bersama dengan GNA terhadap kelompok-kelompok ekstremis Libya.
Bulan lalu, AS menegaskan kembali untuk mengakhiri aliran senjata militer dari Rusia dan tentara bayaran ke Libya. Seperti diketahui, Rusia mendukung Haftar.
Uni Emirat Arab (UEA)
UEA menjadi salah satu pendukung dan sponsor utama Haftar dan milisinya. Abu Dhabi telah memasok Haftar dengan sistem persenjataan canggih yang melanggar embargo senjata PBB.
Milisi Haftar sangat bergantung pada dukungan udara Emirat yang mencakup dugaan penyebaran drone buatan China, Wing Loong II, yang digunakan selama serangan terhadap GNA.
Sebuah laporan PBB mengungkapkan bahwa UEA memasok Haftar dengan sistem pertahanan udara canggih buatan Rusia, Pantsir S-1, yang dipasang di pangkalan Al-Jufra dekat Kota Gharyan.
Laporan PBB lainnya pada 2017 mengatakan bahwa negara Teluk itu berada di belakang pembangunan pangkalan udara di Libya timur dan menyediakan pesawat terbang serta kendaraan militer bagi Haftar.
Laporan pada bulan April 2020 muncul bahwa perusahaan-perusahaan yang berbasis di UEA mengirimkan 11.000 ton bahan bakar jet ke Haftar, sebuah pelanggaran berulang terhadap embargo senjata internasional. Pengiriman itu sedang diselidiki oleh PBB dan diyakini memiliki nilai pasar 5 juta dolar AS. Bahan bakar itu dimuat di UEA dan dikirim bulan lalu ke Libya timur, markas Haftar.
Rusia
Rusia secara terbuka mendukung upaya mediasi PBB yang dipimpin oleh utusan khusus Ghassan Salame. Namun di sisi lain, negara itu memblokir pernyataan Dewan Keamanan PBB yang meminta Haftar untuk menghentikan serangannya di Tripoli.
Komando Afrika-AS menyatakan bahwa sebanyak 2.000 tentara bayaran yang tergabung dalam Grup Wagner yang bermarkas di Rusia diyakini dikirim ke Libya. Menurut beberapa laporan, Grup Wagner terkait erat dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Rusia berusaha untuk mengamankan kesepakatan minyak dan konstruksi di Libya, yang memiliki cadangan minyak dan cadangan gas alam terbesar keempat di benua itu. Meskipun Moskow berulangkali menyangkal bahwa mereka beroperasi di Libya, banyak bukti menyatakan negara itu mengirim lebih dari 12 jet tempur untuk mendukung Haftar.
Perancis
Secara resmi Paris mendukung upaya perdamaian di Libya. Menurut surat kabar Perancis Le Monde, Paris telah berusaha keras untuk memastikan bahwa Haftar bersenjata lengkap, bahkan mengerahkan pasukan khusus Perancis untuk pelatihan milisinya.
Perancis berpura-pura tidak tahu, padahal sudah menawarkan pasokan senjata dan logistik kepada pasukan Haftar. Keterlibatan aktif Paris dalam konflik dimulai pada tahun 2015. Pada saat itulah Haftar muncul sebagai kekuatan dalam konflik.
Sangat mengejutkan dan memalukan dari pemerintahan Macron, posisi Paris di Libya terungkap pada 2016 ketika tiga tentara Perancis yang menyamar tewas dalam kecelakaan helikopter di Benghazi.
Sejak peristiwa itu, Perancis berulang kali mendapat sorotan internasional atas perannya dalam perang saudara Libya. Salah satunya telah melanggar embargo senjata PBB pada beberapa kesempatan.
Pada Juli 2019, penyelidikan Pentagon menyimpulkan bahwa Paris telah memasok rudal anti-tank buatan AS kepada pasukan Haftar. Setiap rudal bernilai 170.000 dolar AS dan AS hanya menjualnya kepada “sekutu dekat” seperti Perancis.
Perdana Menteri GNA Fayez al Sarraj pada bulan April menuduh pemerintah Macron mendukung diktator.
Italia
Roma sepertinya netral selama konflik berkecamuk di seluruh Mediterania. Negara tersebut mengadvokasi proses perdamaian komprehensif yang akan mencakup semua lapisan masyarakat Libya.
Italia pada April memperingatkan Perancis agar tidak mendukung salah satu pihak di Libya untuk keuntungan ekonomi dan komersial setelah Paris memblokir permintaan UE untuk menahan diri. Namun ,dalam beberapa bulan terakhir, Italia telah menegaskan kembali dukungannya untuk GNA yang didukung PBB.
Dukungan Italia untuk GNA termasuk mendukung hasil Konferensi Berlin tentang Libya, memberlakukan embargo senjata pada pasukan Haftar, membangun gencatan senjata antara dua faksi Libya, dan menempatkan peraturan yang efektif untuk mencegah pelanggaran.
Arab Saudi
Sejalan dengan UEA, Riyadh juga dianggap sebagai pendukung Haftar. The Wall Street Journal mengungkapkan bahwa selama serangan Haftar terhadap pemerintah yang didukung PBB, Saudi dengan cepat menawarkan jutaan dolar bantuan untuk mendanai serangan panglima Haftar.
Menurut laporan itu, tawaran datang setelah kunjungan Haftar ke Saudi pada akhir Maret 2019, sebulan sebelum penyerangan milisi Haftar di Tripoli. Haftar menerima bantuan dan menggunakan uang itu untuk membeli loyalis suku, untuk perekrutan, dan untuk membayar pejuang serta pengeluaran militer lainnya.
Mesir
Pemimpin Mesir Abdel Fattah el Sisi naik ke tampuk kekuasaan pada 2013 dengan menggulingkan presiden terpilih pertama Mohamed Morsi dalam sebuah kudeta militer. Dukungan untuk Haftar oleh UEA dan Saudi telah diikuti oleh Mesir. Bahkan, Mesir kini melangkah terlalu jauh dengan mengancam untuk ikut campur secara militer di Libya.
Menurut Aljazeera, Kairo telah menggunakan perbatasannya yang panjang dengan Libya untuk memberikan dukungan logistik dan persenjataan kepada Haftar.
Baru-baru ini, diktator Mesir berpendapat bahwa Kairo memiliki hak yang sah untuk ikut campur di Libya dan mendukung milisi Haftar. Ini terjadi setelah Haftar mengalami kerugian besar setelah bertempur dengan pasukan pemerintah yang didukung PBB selama beberapa bulan terakhir. [wip]