(IslamToday ID) – Lebih dari 25.000 orang telah diberikan sertifikat domisili di Kashmir oleh pemerintah India sejak 18 Mei 2020. Hal ini meningkatkan kekhawatiran akan dimulainya perubahan demografis di wilayah Himalaya yang berpenduduk mayoritas muslim itu.
Sertifikat tersebut semacam hak kewarganegaraan. Yakni memberikan hak kepada seseorang di luar Kashmir untuk tinggal dan mendapatkan pekerjaan dari pemerintah di wilayah tersebut. Padahal, hingga tahun lalu hak kewarganegaraan itu hanya diperuntukkan bagi penduduk Kashmir.
Pada 5 Agustus 2019, ketika India mencabut status semi-otonomi wilayah Kashmir, juga membatalkan undang-undang kewarganegaraan lokal khusus yang dijamin berdasarkan konstitusi pasal 35 (A). Langkah ini mirip dengan Tepi Barat, Palestina yang diduduki Israel.
Pada hari Jumat (26/6/2020), calon presiden dari Partai Demokrat, Joe Biden mengatakan, “India harus mengambil semua langkah yang dibutuhkan untuk memulihkan hak-hak semua rakyat Kashmir.”
“Pembatasan perbedaan pendapat seperti demonstrasi damai atau memutus jaringan internet melemahkan demokrasi,” kata sebuah makalah kebijakan yang diposting di situs webnya.
Tidak Merasa Aman
“Keputusan untuk memberikan sertifikat domisili kepada warga non-Kashmir jelas merupakan awal dari sebuah akhir. Ini adalah awal dari Kashmir menjadi Palestina berikutnya,” kata Badar-Ul-Islam Sheikh, seorang warga kota utama Srinagar berusia 29 tahun kepada Aljazeera, Minggu (28/6/2020).
“Menyedihkan. Mengerikan. Saya khawatir pada waktunya nanti kita bahkan tidak akan merasa aman di rumah sendiri,” katanya. “Kami telah dibungkam,” tambah Badar.
Menurut sensus yang dilakukan India pada tahun 2011, dari 12,5 juta total populasi Kashmir, warga muslim sebanyak 68,31 persen, sedangkan Hindu 28,43 persen.
Pasal 35 (A) telah melarang orang luar, termasuk warga negara India untuk menetap dan mendapatkan pekerjaan dari pemerintah demi menjaga keseimbangan demografis di wilayah tersebut. Pasal itu juga demi meredam pemberontakan bersenjata melawan pemerintah India yang sudah terjadi puluhan tahun.
Pada hari Jumat, gambar sertifikat domisili untuk Navin Kumar Choudhary, seorang birokrat yang berasal dari negara bagian Bihar, India menyebar di media sosial.
Pada bulan April, di tengah penguncian wilayah akibat corona, pemerintah mengumumkan undang-undang tentang domisili, sehingga membuat sejumlah orang luar yang tidak memenuhi syarat bisa tinggal dan mendapat pekerjaan.
Menurut undang-undang baru, setiap orang yang telah tinggal di wilayah tersebut selama 15 tahun, atau telah belajar di wilayah tersebut selama tujuh tahun dan lulus ujian kelas 10 atau kelas 12 memenuhi syarat untuk mendapatkan sertifikat domisili.
Juga, anak-anak pegawai pemerintah India yang telah bertugas di negara bagian selama 10 tahun memenuhi syarat untuk mendapatkan hak tinggal. Hukum itu berlaku bahkan untuk anak-anak yang tidak pernah tinggal di Kashmir.
Dari 66 birokrat top yang bertugas di wilayah itu, 38-nya adalah orang luar atau dari negara bagian India lainnya. Banyak orang luar lainnya menjadi pegawai di berbagai lembaga pemerintah pusat seperti bank, fasilitas telekomunikasi, kantor pos, lembaga keamanan, dan universitas.
Malapetaka Bagi Seluruh Wilayah
Khurram Parvez, seorang aktivis hak asasi manusia (HAM) yang berbasis di Srinagar, mengatakan langkah India itu membawa malapetaka bagi seluruh wilayah. “Tampaknya pemerintah sedang terburu-buru. Dalam beberapa minggu, banyak orang tertarik,” katanya kepada Aljazeera.
Politisi Kashmir di seluruh negara bagian mengatakan pencabutan hak kewarganegaraan khusus ditujukan untuk membalikkan karakter mayoritas muslim di wilayah tersebut, yang sekarang langsung diperintah dari New Delhi.
Legislatif lokal, yang dipilih langsung oleh rakyat, ditangguhkan setelah penghapusan pasal 370 tahun lalu. “Semua keraguan kita tentang aturan domisili baru di J&K (Jammu dan Kashmir) akan muncul,” tweet Omar Abdullah, mantan menteri utama Jammu dan Kashmir, yang sebelumnya merupakan negara bagian dan sekarang merupakan wilayah yang dikelola pemerintah federal.
Omar dipenjara menyusul pencabutan otonomi daerah pada Agustus tahun lalu bersama dengan para pemimpin terkemuka Kashmir yang menentang penghapusan status khusus kawasan itu oleh pemerintah nasionalis Hindu Perdana Menteri Narendra Modi. Dia dibebaskan hampir delapan bulan kemudian, yakni pada bulan Maret.
“Kami di @JKNC_ (Jammu dan Kashmir National Conference) menentang perubahan itu, karena kami melihat ada desain jahat di balik perubahan itu. Orang-orang J&K di kedua sisi pegunungan Pir Panjal akan menjadi yang menderita akibat aturan domisili ini,” ia tweeted pada hari Jumat.
Tetapi pemerintah India mengatakan langkah untuk mengubah status Kashmir dilakukan untuk mengintegrasikan wilayah mayoritas muslim dengan seluruh negara demi pembangunan.
Kementerian Luar Negeri Pakistan mengatakan bahwa langkah terbaru itu adalah tindakan ilegal dan sepihak pemerintah India untuk mengubah struktur demografis Jammu dan Kashmir yang diduduki India, serta mengubah Kashmir menjadi minoritas di tanah mereka sendiri. “Ini telah lama menjadi bagian dari agenda ‘Hindutva’ RSS-BJP,” katanya.
Berbicara kepada Anadolu Agency, seorang pejabat pemerintah yang enggan disebut namanya mengatakan, sejak 18 Mei ketika aturan disosialisasikan, 33.000 orang telah mengajukan sertifikat domisili. Dari sejumlah itu, 25.000 orang telah diberikan hak tinggal.
Sertifikat Dikeluarkan di Jammu
Sebanyak 32.000 sertifikat domisili diajukan di 10 distrik di wilayah Jammu yang mayoritas Hindu di selatan. Sebanyak 8.500 sertifikat telah dikeluarkan di distrik Doda, yang memiliki kondisi demografis berimbang, muslim terdiri dari 53,81 persen dan Hindu 45,76 persen.
Kemudian, 6.213 sertifikat domisili juga telah dikeluarkan di distrik Rajouri, yang memiliki 62,71 persen populasi muslim. Pihak berwenang telah mendistribusikan 6.123 sertifikat residensi di Poonch, sebuah distrik perbatasan yang terdiri dari 90,44 persen berpenduduk muslim.
Di wilayah Kashmir, dengan populasi muslim mencapai 96,4 persen, sejauh ini 435 sertifikat telah dikeluarkan, dari total 720 sertifikat.
Sampai sekarang tidak jelas berapa banyak orang luar, seperti Choudhary, yang telah mendapatkan sertifikat domisili. 25.000 warga baru juga termasuk pengungsi Hindu, yang telah menetap di wilayah tersebut pada saat pembagian sub-benua pada tahun 1947. Mereka telah bermigrasi dari wilayah yang kini dikuasai Pakistan. Tetapi karena undang-undang kependudukan Kashmir dan status khusus, mereka tidak diberi hak tinggal.
Parvez, aktivis HAM, mengatakan pemerintah daerah yang mendapat pesanan dari New Delhi, telah mengancam akan menghukum pejabat Rs 50.000 (660 dolar AS) jika sertifikat domisili tidak dikeluarkan dalam waktu 14 hari sesuai ketentuan. Padahal akan sulit untuk memverifikasi permintaan domisili dalam waktu sesingkat itu.
“Jika Anda membandingkannya dengan negara bagian timur laut Assam, di mana Partai Bharatiya Janata (BJP) berkuasa, ingin setiap permohonan diperiksa dengan cermat oleh para perwira,” kata Parvez kepada Aljazeera.
“(Di Assam) orang-orang juga memiliki hak untuk menolak permohonan siapapun. Tetapi di sini baik petugas maupun orang lain tidak memiliki hak untuk menolak domisili,” katanya.
“Pemerintah telah memperingatkan mereka yang menentang harus masuk penjara,” tambahnya.
Parvez mengatakan orang-orang yang tidak mendukung hukum dan malah menentang akan berada di bawah tekanan senjata dan kekerasan negara. “Itu hanya akan memperumit konflik dan membuat segalanya menjadi buruk,” katanya.
Kashmir dikuasai oleh India dan sebagiannya adalah Pakistan. Wilayah kecil Kashmir, yang disebut Aksai Chin, juga dikuasai oleh China.
Saat ini, India dan China terlibat dalam konflik berdarah perbatasan sejak awal Mei. Pada 15 Juni, 20 tentara India tewas dalam sebuah pertempuran di perbatasan, sehingga menyebabkan ketegangan terburuk antara Beijing dan New Delhi dalam 50 tahun terakhir.
Sejak mereka terikat perjanjian pada tahun 1947, New Delhi dan Islamabad telah berperang tiga kali, yakni pada tahun 1947, 1965, dan 1971. Dua di antaranya telah berakhir di Kashmir.
Kelompok pemberontak Kashmir telah berjuang untuk kemerdekaan atau penyatuan dengan Pakistan. Mereka menikmati popularitas berbasis luas di lembah Kashmir.
Menurut beberapa organisasi HAM, ribuan orang telah terbunuh sejak 1989, ketika India mengirim puluhan ribu pasukan ke wilayah itu untuk memadamkan pemberontakan bersenjata. [wip]