(IslamToday ID) – Laut China Selatan (LCS) terus menjadi sengketa antara China dengan negara-negara di Asia Tenggara. LCS sebagai jalur perdagangan strategis dinilai memiliki kekayaan alam melimpah sehingga banyak yang mengklaim wilayah itu.
Luas LCS membentang 1,4 juta mil persegi di Samudera Pasifik yang melintasi berbagai negara di kawasan Asia Tenggara seperti Filipina, Indonesia, hingga Vietnam.
LCS juga meliputi wilayah mulai dari Selat Malaka hingga Selat Taiwan. LCS juga memiliki ratusan pulau. Namun yang paling besar adalah Pulau Spratly, Pulau Paracel, dan Pulau Pratas yang juga diklaim oleh enam negara ASEAN.
Namun kebanyakan pulau-pulau tersebut tak berpenghuni menurut Council for Foreign Relations (CFR). Sehingga secara historis sangat susah untuk menyelesaikan konflik yang terjadi.
Isu teritorial lain juga melibatkan China. Pemicunya adalah klaim negara itu bahwa 80 persen LCS atau 2.000 km area merupakan bagian dari negaranya dengan konsep Sembilan Garis Imajiner (Nine Dash Line).
Sembilan Garis Imajiner itu membentang sejauh ratusan mil dari bagian selatan dan timur Provinsi Hainan China. Pada 1947, Beijing mengeluarkan sebuah peta untuk mendetailkan klaimnya terhadap wilayah itu. Dalam peta tersebut dua kepulauan terbesar masuk ke dalam teritori China.
Namun klaim tersebut mendapat kritikan dari banyak pihak. Klaim tersebut dinilai tak cukup didukung dengan bukti konkret. Contoh yang sering disebut adalah pada peta versi China, wilayah yang diklaim tidak memiliki koordinat yang jelas.
Mengutip BBC, klaim China juga tidak jelas, apakah hanya pada teritori daratan saja atau Sembilan Garis Imajiner tersebut juga mencakup perairan di sekitarnya.
Klaim Pemicu Konflik
Klaim China tersebut tak hanya memicu kritik, tetapi juga konflik antara negara-negara kawasan Asia Tenggara dengan China. Vietnam salah satunya.
Vietnam mengklaim bahwa Paracel & Spratly merupakan teritori miliknya sejak abad ke 17. Lebih lanjut Vietnam juga dikabarkan memiliki dokumen yang mendukung klaim tersebut.
Filipina juga mengklaim wilayah geografis dekat dengan kepulauan Spratly. Baik China maupun Filipina juga mengklaim wilayah dangkalan Scarborough. Wilayah ini terletak di 100 mil dari Filipina dan 500 mil dari China.
Malaysia dan Brunei Darussalam juga ikut dalam aksi klaim tersebut. Menurut Negeri Jiran dan Negara Petro Dollar tersebut, LCS juga termasuk bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) kedua negara tersebut jika mengacu pada definisi United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).
Berbeda dengan Malaysia, Brunei tidak ikut mengklaim beberapa kepulauan di LCS yang jadi sengketa. Sementara, Malaysia turut mengklaim sebagian wilayah yang masuk ke dalam kepulauan Spratly.
China bahkan juga sempat bersitegang dengan Indonesia. Akhir tahun lalu, kapal nelayan China melanggar aturan ZEE yang ditetapkan oleh UNCLOS dan memasuki perairan Natuna, Kepulauan Riau. Kala itu, Indonesia memprotes keras tindakan China tersebut.
Bagaimanapun juga klaim yang diajukan oleh China dan negara-negara di kawasan Asia Tenggara itu telah beberapa kali memicu timbulnya gesekan. Konflik sudah pernah meletus bahkan sejak hampir 40 tahun lalu.
Berikut ini adalah beberapa konflik yang pernah pecah akibat saling klaim wilayah LCS:
Pada 1974, China merebut Paracels dari Vietnam dan menewaskan lebih dari 70 tentara Vietnam.
Pada 1988, China dan Vietnam bertempur di Kepulauan Spratly. Kali ini Vietnam kembali dipukul telak dan harus kehilangan 60 pelautnya.
Pada awal 2012, China dan Filipina terlibat dalam bentrokan maritim yang panjang akibat saling tuduh di dangkalan Scarborough.
Di akhir tahun 2012, klaim yang tidak terverifikasi bahwa angkatan laut China menyabotase dua operasi eksplorasi Vietnam menyebabkan protes besar anti-China di jalan-jalan Vietnam.
Pada Januari 2013, Manila mengatakan akan membawa China ke pengadilan PBB di bawah naungan Konvensi PBB tentang Hukum Laut, untuk menentang klaimnya.
Pada Mei 2014, penggunaan rig dan aktivitas pengeboran di perairan dekat Kepulauan Paracel oleh China telah menyebabkan beberapa tabrakan antara kapal Vietnam dan China.
China Memang Agresif Mengklaim LCS
Mengutip CFR, China bersikukuh bahwa di bawah hukum internasional, militer asing tidak dapat melakukan kegiatan pengumpulan-intelijen, seperti penerbangan pengintaian di (ZEE).
Sementara menurut Amerika Serikat (AS), negara-negara penuntut di bawah UNCLOS, harus memiliki kebebasan navigasi melalui ZEE di laut dan tidak diharuskan untuk memberi tahu penuntut kegiatan militer.
Pada Juli 2016, Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag mengeluarkan putusannya atas klaim yang diajukan terhadap China oleh Filipina di bawah UNCLOS. Putusan tersebut hampir sepenuhnya berpihak pada Filipina. China tak terima dan menolak keputusan pengadilan tersebut.
Dalam beberapa tahun terakhir, citra satelit menunjukkan peningkatan upaya Negeri Tirai Bambu untuk merebut kembali daratan di LCS dengan meningkatkan ukuran pulau atau membuat pulau baru sekaligus.
Selain menumpuk pasir ke terumbu yang ada, China telah membangun pelabuhan, instalasi militer, dan landasan udara, khususnya di kepulauan Paracel dan Spratly, di mana China memiliki masing-masing 20 dan tujuh pos terdepan.
China juga telah melakukan militerisasi Pulau Woody dengan mengerahkan jet tempur, rudal jelajah, dan sistem radar.
Untuk melindungi kepentingan politik, keamanan, dan ekonomi di kawasan itu, Negeri Paman Sam menantang klaim teritorial tegas China dan upaya reklamasi tanah dengan melakukan operasi navigasi bebas (FONOP) dan memperkuat dukungan bagi mitranya di Asia Tenggara.
Lebih lanjut CFR juga menyoroti keikutsertaan Jepang dalam menjual kapal dan peralatan militernya ke Filipina dan Vietnam untuk meningkatkan kapasitas keamanan maritim mereka dan untuk mencegah agresi China sebagai tanggapan atas kehadiran tegas China di wilayah yang disengketakan.
LCS Merupakan Wilayah Strategis
Klaim dari berbagai pihak tak terlepas dari lokasi LCS yang strategis serta dikenal memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah.
Menurut CFR, pada 2016 total nilai perdagangan internasional yang melewati LCS mencapai 3,37 triliun dolar AS. Sebanyak 40 persen dari total perdagangan gas alam cair transit di LCS pada 2017.
LCS memang berada di jalur perdagangan strategis yang dilalui oleh banyak kapal tanker pengangkut minyak. Menurut CFR, 50 persen dari total kapal tanker pengangkut minyak global melewati LCS.
Jumlah kapal tanker pengangkut minyak yang melalui LCS tiga kali lebih banyak dari Terusan Suez dan lebih dari lima kali Terusan Panama. Lebih dari setengah dari 10 pelabuhan pengiriman terbesar di dunia juga berlokasi di LCS.
Terkait kekayaan alam, LCS dikabarkan memiliki cadangan migas yang luar biasa besar. LCS juga wilayah yang kaya akan sumber pangan berupa ikan. Lebih dari itu, LCS juga dikatakan kaya akan logam tanah jarang (Rare Earth Element) yang banyak digunakan pada industri hilir berteknologi tinggi.
Kendati banyak yang sepakat LCS kaya akan sumber daya alam, tetapi terkait seberapa banyak kelimpahan dari kekayaan alam tersebut beberapa sumber memiliki pandangan yang berbeda. Ini berarti bahwa masih membutuhkan pembuktian lebih lanjut.
Menurut CFR, di LCS ada sekitar 190 triliun kaki kubik gas alam. Angka ini tentunya sangat fantastis. Jika memang benar cadangan gas yang ada mencapai sebanyak itu, maka LCS memang wilayah yang kaya sumber daya alamnya.
Sumber lain dari American Security Project menyebutkan bahwa cadangan gas di LCS mencapai 266 triliun kaki kubik dan menyumbang 60-70 persen dari total cadangan hidrokarbon teritori tersebut.
Tak hanya estimasi cadangan gas saja yang beragam, tetapi juga berlaku untuk cadangan minyaknya. Ada yang memperkirakan cadangan minyak LCS mencapai 7,7 miliar barel. Sementara, menurut CFR, cadangan minyak di LCS bisa mencapai 11 miliar barel.
Estimasi lainnya memperkirakan jumlahnya mencapai 213 miliar barel atau hampir 80 persen dari cadangan minyak Arab Saudi. Ini adalah informasi yang berhasil diperoleh di tahun 2012.
Beralih ke komoditas pangannya, LCS juga menyimpan kekayaan ikan yang tak ternilai harganya. Pada 2012, Departemen Lingkungan dan Sumber Daya Alam Filipina menyebutkan bahwa LCS memiliki sepertiga dari total keanekaragaman laut di dunia yang berkontribusi terhadap 10 persen dari total tangkapan ikan di planet bumi.
Beberapa komoditas perikanan laut yang terkandung di dalam LCS seperti ikan layur, makarel, scraper hitam, teri, udang, kepiting, hingga ikan kecil lainnya.
Lokasi yang sangat strategis hingga kekayaan alam yang dipercayai sangat melimpah memang jadi satu daya tarik tersendiri bagi LCS. Wajar saja jika banyak yang mengklaim, mengingat setiap negara punya kepentingan masing-masing atas kekayaan alam tersebut. [wip]