(IslamToday ID) – Qatar Airways akan menuntut kompensasi untuk kerugian yang ditimbulkan dari “blokade wilayah udara” yang diberlakukan sejak 2017 oleh empat negara Timur Tengah.
Hal itu menyusul keputusan Pengadilan Internasional yang menyatakan Qatar dapat menentang pembatasan wilayah udara yang diberlakukan oleh Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, dan Mesir yang diberlakukan tiga tahun lalu.
“Qatar Airways akan meneruskan kasusnya untuk mendapatkan kompensasi yang layak atas kerugian keuangan yang diderita sebagai akibat dari blokade wilayah udara ilegal,” kata maskapai itu dalam sebuah pernyataan, Rabu (15/7/2020), seperti dikutip di Aljazeera.
“Tindakan sewenang-wenang yang telah diambil empat negara ini telah menghancurkan program kami yang sudah puluhan tahun direncanakan dengan hati-hati. Mereka secara sewenang-wenang menghambat kami melayani ratusan ribu penumpang dari dan ke negara lain setiap tahun.”
Putusan pengadilan PBB yang mendukung Qatar dalam sengketa wilayah udara menandai kekalahan lain bagi negara-negara yang memblokade pimpinan Saudi. Meskipun ada tekanan internasional yang meningkat untuk mengakhiri blokade itu, tapi belum pasti apakah empat itu akhirnya mau mengalah.
Upaya mediasi yang dipimpin Amerika Serikat (AS) tidak membuahkan hasil di tengah laporan oposisi dari UEA, membuat Washington frustasi. AS telah mencoba untuk menyatukan sekutu-sekutunya dan fokus pada tujuan strategis utamanya yakni mengekang Iran.
Teheran dilaporkan dibayar sekitar 133 juta dolar AS setahun oleh Doha untuk penggunaan wilayah udaranya untuk penerbangan Qatar.
PBB Dukung Qatar
Pada hari Selasa, Mahkamah Internasional (ICJ) PBB mendukung Qatar dalam perselisihan sengit tentang blokade udara. Putusan itu muncul setelah Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) bulan lalu mengetuk Riyadh karena gagal melindungi hak kekayaan intelektual penyiar milik Qatar.
“Keputusan ICJ menandai pukulan lain untuk kuartet yang dipimpin Saudi,” kata Nabeel Nowairah, seorang analis independen yang berbasis di Washington, seperti dikutip di kantor berita AFP.
“Itu mencerminkan bukti dan pembenaran mereka yang lemah ketika dihadirkan di hadapan badan-badan yang diakui internasional ini.”
Putusan ICJ memungkinkan Qatar untuk menghadapi pembatasan wilayah udara yang diberlakukan oleh kelompok yang dipimpin Riyadh dalam sidang Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO), sebuah badan penerbangan PBB.
Qatar mengatakan keputusan itu berarti negara-negara yang memblokade akan menghadapi keadilan karena melanggar aturan penerbangan. Pengalihan rute paksa atas penerbangan Qatar Airways juga menambah biaya bahan bakar maskapai.
Kontribusi tahunan Qatar 133 juta dolar AS untuk Iran bisa merongrong kampanye “tekanan maksimum” Presiden AS Donald Trump terhadap negara itu dalam bidang ekonomi.
“Kami telah fokus dan berupaya untuk memperbaiki keretakan Teluk,” ujar David Schenker, asisten Menteri Luar Legeri AS untuk Urusan Timur Dekat.
“Kami percaya itu adalah gangguan (dan) mengalihkan fokus dari ancaman kami bersama. Kami tidak berpikir (produktif) bagi Qatar untuk membayar biaya udara ke Iran.”
Washington hampir menengahi kesepakatan untuk mengakhiri blokade bulan ini setelah diskusi tingkat tinggi dengan para pemimpin Saudi, Qatar, dan UEA. Tetapi pada menit terakhir, UEA meminta Saudi untuk menahan dukungan, tanpa memberikan alasan.
Empat negara itu memutuskan hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Qatar sejak tahun 2017, karena diduga menjalin hubungan dekat dengan Iran.
Mereka mengeluarkan daftar 13 tuntutan untuk Qatar, termasuk menutup jaringan media Aljazeera dan menurunkan intensitas hubungan dengan Turki, yang menurut para pejabat AS hampir tidak mungkin dipenuhi.
Tetapi blokade yang dirancang untuk mencekik Qatar dan memaksanya untuk menyelaraskan dengan kepentingan Teluk hanya mendorong negara itu lebih dekat ke Iran dan Turki. Ini juga telah merusak kepentingan strategis Saudi.
Putusan WTO dapat mengacaukan pengambilalihan 300 juta pound (370 juta dolar AS) yang diusulkan Saudi untuk klub Liga Premier Inggris Newcastle United.
Menyusul keputusan itu, kepala eksekutif Liga Premier Inggris Richard Masters mengakui pengambilalihan yang diusulkan itu rumit. [wip]