(IslamToday ID) – Beda dengan Turki, Mesir tidak memiliki mandat resmi untuk masuk ke Libya dan memberikan pembelaan terhadap pasukan LNA yang dipimpin Khalifa Haftar.
Pada hari Senin, parlemen Mesir mengizinkan pengiriman pasukan ke perbatasan dengan Libya. Kebijakan itu berselang seminggu setelah Presiden Mesir, Abdel Fattah al Sisi memperingatkan akan adanya intervensi militer di Libya.
Langkah itu bertujuan untuk membela keamanan nasional Mesir dan disahkan dengan suara bulat di legislatif.
Sekutu-sekutu Mesir di Libya, yang terdiri dari parlemen yang berafiliasi dengan suku Tobruk yang berafiliasi dengan Haftar, juga memberikan lampu hijau untuk pengerahan pasukan kendati ditentang oleh Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) yang diakui PBB.
Sisi telah menunjukkan kemarahannya setelah pemerintah yang sah Libya mendepak Khalifa Haftar dari Tripoli.
Diktator Mesir itu telah menetapkan kota-kota strategis seperti Sirte dan Jufra sebagai “garis merah” bagi pasukan GNA. Ia berjanji akan menurunkan kekuatan militer jika sampai kota-kota itu direbut oleh pasukan GNA.
Sisi juga telah berusaha untuk membentuk aliansi suku-suku untuk mendukung Haftar, namun sejauh mana usaha itu berhasil belum bisa dipastikan.
“Kami sepenuhnya menolak keputusan parlemen Mesir berdasarkan undangan tidak sah oleh mereka yang mengaku mewakili suku-suku Libya dengan kedok parlemen,” kata GNA yang merujuk pada entitas Tobruk yang mendukung Haftar, seperti dikutip di TRT World, Kamis (23/7/2020).
Anggota parlemen GNA lebih lanjut meminta pemerintah untuk siap secara politis dan praktis menanggapi ancaman ini, dan mempertimbangkan setiap opsi untuk memberikan respons yang benar.
Menteri Dalam Negeri Libya, Fathi Bashagha pada hari Selasa mengatakan bahwa keputusan parlemen Mesir adalah “deklarasi perang” terhadap negaranya.
Dalam sebuah tweet yang kemudian dihapus, Bashagha berkata, “Persetujuan parlemen Mesir untuk penempatan pasukan di luar perbatasan bagian barat adalah deklarasi perang terhadap Libya dan melanggar Liga Arab dan piagam PBB.”
Ia menjelaskan bahwa pasukan asing di wilayah Libya akan diperlakukan sebagai musuh. Dan pihak keamanan Libya tidak akan ragu untuk mempertahankan kedaulatan negaranya.
Pertanyaan Tentang Legitimasi
Pada tahun 2015, PBB membantu menengahi kesepakatan antara pihak-pihak yang bertikai setelah pembicaraan di Shirkat, Maroko. Peserta sepakat untuk membentuk pemerintah persatuan, yang diakui oleh PBB dan masyarakat internasional.
Pemerintah membentuk GNA, yang merupakan satu-satunya entitas yang memiliki kekuatan hukum untuk memerintah wilayah Libya dan sebagai wakil negara di panggung internasional.
“Ini meminta negara-negara anggota untuk berhenti memberi dukungan dan kontak resmi dengan lembaga-lembaga lain yang mengklaim sebagai otoritas yang sah, tetapi yang berada di luar perjanjian politik,” kata Dewan Keamanan PBB saat itu.
Namun, beberapa negara tampaknya tidak mengindahkan aturan ini, dan memilih untuk mendukung Haftar dalam melawan pemerintah pusat. Rusia, UEA, Perancis, Arab Saudi, dan Mesir telah mendukung Haftar.
Asisten Sekjen Liga Arab, Hossam Zaki telah mengkonfirmasi bahwa GNA adalah pemerintah yang sah bagi Liga Arab, Uni Afrika, dan PBB.
Ia melanjutkan bahwa semua perjanjian yang ditandatangani antara GNA dan Turki valid. Oleh karena itu, dukungan Turki ke Libya datang atas permintaan kelompok yang secara hukum berhak melakukannya.
Bantuan seperti itu tidak berlebihan untuk kebutuhan GNA. Bagi pemerintah Libya, dukungan itu telah mencegah bahaya eksistensial.
Tanpa dukungan Turki dalam bentuk penasehat militer dan pelatihan militer, milisi Haftar kemungkinan akan menyerang ibukota dan terjadi pertumpahan darah.
“Mereka (sekutu Haftar) telah membantu seorang penjahat perang. Kami memenuhi permintaan pemerintah sah Libya. Itulah perbedaannya,” kata Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan. [wip]