(IslamToday ID) – Sebuah rancangan undang-undang (RUU) baru akan memberikan Presiden Abdel Fattah al Sisi kewenangan untuk menunjuk ahli hukum Islam Mesir.
Anggota parlemen Mesir telah bergerak untuk melemahkan otonomi lembaga Islam terkemuka Mesir, Universitas Al Azhar. Jika itu berhasil maka cengkeraman Sisi terhadap negara piramida itu akan semakin kuat.
Langkah ini akan dimulai dengan menempatkan badan Dar al Ifta Universitas Al Azhar yang selama ini memiliki otoritas untuk mengeluarkan pendapat agama akan di bawah kendali rezim Mesir.
Middle East Eye (MEE) yang berbasis di Inggris melaporkan dengan perubahan itu, Sisi akan memiliki wewenang untuk menunjuk mufti utama. Lembaga itu juga akan menikmati kemandirian finansial yang lebih besar dan mufti akan memiliki hak istimewa tingkat menteri.
Dar al Ifta adalah salah satu lembaga keagamaan paling kuat di Mesir yang menyediakan layanan konsultasi untuk para menteri dan berfungsi sebagai penengah untuk masalah-masalah Islam yang melibatkan pemerintah atau orang biasa.
Satu sumber yang dikutip oleh MEE mengatakan langkah itu akan menjadi pelanggaran serius terhadap otonomi Al Azhar, dan Dar al Ifta akan menjadi lembaga terpisah dengan universitas.
Al Azhar tidak akan lagi bisa menggunakan pengaruhnya terhadap keputusan agama jika Dar al Ifta terlepas darinya.
Mengontrol Al Azhar
Sisi, yang berkuasa setelah melakukan kudeta militer terhadap presiden Mesir pertama dan satu-satunya yang terpilih secara demokratis, almarhum Mohamed Morsi, pada tahun 2013, telah berusaha mengendalikan urusan keagamaan yang tidak sesuai dengan visi negara.
Lembaga Al Azhar yang sudah berusia 1.200 tahun, adalah salah satu tempat belajar tertua di dunia Islam dan paling dihormati, merekrut siswa dari seluruh dunia.
Mengingat pengaruhnya dalam menentukan kebijakan keagamaan bagi umat Islam di Mesir dan sekitarnya, para penguasa Mesir secara bergantian telah berusaha mengekang pengaruhnya dan menggunakannya untuk kepentingan pribadi.
Sebuah tradisi dimulai di bawah pemerintahan Ottoman, yakni para sarjana di Al Azhar akan menentukan pemerintahannya sendiri, serta memilih grand syaikh mereka sendiri. Undang-undang baru yang diusulkan oleh anggota parlemen Mesir menyatakan bahwa para ahli hukum di Al Azhar tidak lagi memiliki suara. Sebaliknya, mereka hanya akan menjadi aktor sekunder bagi para politisi.
Ketika kemerdekaannya berkurang, para sarjana yang dekat dengan diktator militer yang telah memerintah Mesir sejak 1952, menganggap posisi mereka lebih tinggi daripada mereka yang telah menentang politisi otokratis.
Ini dibuktikan pada 2013 saat terjadi pembantaian di Rabaa terhadap para pendukung Morsi oleh rezim Sisi, di mana para pejabat agama senior Mesir seperti mantan mufti, Ali Gomaa dengan antusias mendukung pertumpahan darah. [wip]