(IslamToday ID) – Perdana Menteri (PM) Libya, Fayez Al-Sarraj mengumumkan akan mundur dari jabatannya pada akhir Oktober 2020. Ia mengatakan keputusan itu berasal dari dirinya sendiri.
“Saya mendeklarasikan keinginan tulus saya untuk menyerahkan tugas-tugas saya ke otoritas eksekutif selanjutnya tak lebih dari akhir Oktober,” kata Al-Sarraj seperti dikutip di Arabnews, Kamis (17/9/2020).
“Diharapkan dialog komite akan menyelesaikan tugasnya dan memilih dewan presiden baru dan perdana menteri,” lanjutnya.
Al-Sarraj adalah pemimpin dari pemerintah Libya yang berbasis di Tripoli atau Pemerintahan Perjanjian Nasional (GNA). Pemerintah itu mendapat restu dari PBB.
Ia telah berkuasa sejak 2015 untuk menstabilkan Libya setelah Moammar Khadafi lengser. Keputusan Al-Sarraj untuk mundur dikhawatirkan menambah ketidakpastian di Libya.
Sementara, ada lagi pemerintahan tandingan di timur Libya. Kebetulan, administrasi pemerintahan di timur itu juga baru saja mundur pekan ini akibat tekanan rakyat.
Pada Juni 2020, pemerintah Tripoli baru saja berhasil memukul mundur pasukan dari timur yang berusaha menyerang ibukota.
PBB memperingatkan risiko yang membayangi kehidupan puluhan ribu warga sipil di kota pantai Libya. Badan dunia itu menyerukan agar Amerika Serikat (AS) memainkan peran diplomatik yang lebih aktif untuk mencegah konflik lebih lanjut di negara kaya minyak itu.
“Terdapat 60.000 warga sipil dalam bahaya di Kota Sirte sekarang,” kata Stephanie T Williams, penjabat perwakilan khusus Sekjen PBB untuk Libya pada tanggal 25 Juni 2020 lalu.
Sirte adalah kota strategis Libya di sepanjang Laut Tengah yang diakui GNA yang dipimpin PM Fayez al-Sarraj. Ia berjanji akan merebut kembali dari Tentara Nasional Libya (LNA) pimpinan Jenderal Khalifa Haftar. Kota ini telah menjadi tempat beberapa konflik berdarah selama sembilan tahun terakhir.
Pada Februari 2015, kelompok teroris ISIS merebut dan mempertahankan kendali atas Sirte selama lebih dari setahun. Pada 2016, GNA merebut kembali kota itu dari para ekstremis ISIS, tetapi kemudian kalah dalam pertempuran dengan pasukan Haftar.
Pada bulan Januari, Turki mulai mengerahkan pasukan ke Libya dan mengubah gelombang konflik yang lebih menguntungkan GNA.
Sejak itu, GNA telah mencapai serangkaian kemenangan teritorial utama melawan LNA dan kini mengincar untuk merebut kembali Kota Sirte. [wip]