(IslamToday ID) – Ben Bland menggambarkan potret pemimpin Indonesia yang menarik dalam buku barunya, “Man of Contradictions: Joko Widodo and The Struggle to Remake Indonesia”.
Jokowi, panggilan sang presiden, adalah berkepribadian menarik. Ia mengawali kariernya sebagai pengusaha mebel, kemudian menjadi walikota, menjadi gubernur, dan selanjutnya memimpin Indonesia.
Namun dibalik potret Jokowi itu, juga terdapat gambaran yang meresahkan tentang Indonesia, negara terpadat keempat di dunia, dengan populasi muslim terbesar di dunia. Bland mengutip pernyataan mantan Menteri Keuangan Indonesia Chatib Basri, yang pernah mengatakan kepadanya. “Indonesia selalu mengecewakan. Mengecewakan orang yang optimis dan juga mengecewakan orang yang pesimis.”
Namun pesan yang jelas dari teks Bland adalah bahwa orang yang optimis akan jauh lebih kecewa daripada orang yang pesimis.
Seperti dikatakan Bland, terpilihnya Jokowi menjadi presiden Indonesia adalah bukti bahwa adanya demokrasi dan pemilihan umum yang bebas dan adil. Namun, di bawah kekuasaan Jokowi, telah terjadi kemerosotan yang meresahkan dalam tata kelola demokrasi Indonesia.
Memang, eksperimen baru Indonesia dengan demokrasi, dalam banyak hal telah dibajak oleh kekuatan asing yang menyandera negara. Dan pada masa jabatan keduanya (Jokowi), orang luar ini telah bercokol kuat di dalam elite politik.
Bland menyoroti banyak tindakan Jokowi yang telah merusak demokrasi Indonesia yang sudah cacat. Misalnya semakin kerdilnya badan anti-korupsi negara, menciptakan dinasti politik keluarganya sendiri, dan sikap tenangnya terhadap Islam konservatif dan intoleransi, serta kekerasan terhadap minoritas agama dan komunitas LGBT.
Meski mendapat dukungan suara yang kuat dari Papua, Jokowi tetap melanjutkan upaya yang tidak efektif dengan menerjunkan pasukan keamanan untuk menghancurkan pemberontak separatis.
Secara keseluruhan, Jokowi, yang pernah menjadi rakyat biasa, dikatakan telah menjalankan kebijakan istana yang lebih sebagai pengadilan kekaisaran daripada kantor kepala eksekutif. Jokowi juga dikatakan menggunakan militer untuk kekuatan penyeimbang melawan berbagai lawan politiknya.
Kelemahan Indonesia dalam menangani bencana alam dan krisis terbukti melalui pandemi Covid-19. Untuk menjawab tantangan, Jokowi telah berjuang di bawah tekanan yang sangat besar. Ia menyembunyikan informasi tentang pandemi, dan bimbang antara mengambil tindakan mitigasi yang diperlukan dan menyarankan tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Pandemi telah memporak-porandakan sistem kesehatan negara hingga menyedihkan. Ini tertinggal jauh dari negara-negara seperti Korea Selatan, China, Singapura, dan Malaysia dalam hal kondisi rumah sakit, seperti tempat tidur perawatan kritis, dokter, dan anggaran untuk kesehatan.
Sebuah studi oleh Center for Mathematical Modeling of Infectious Diseases dari bulan Maret memperkirakan bahwa hanya sekitar 2 persen infeksi virus corona di Indonesia yang dilaporkan. Ini sungguh ironis, Jokowi, seorang pemimpin yang menyebut dirinya responsif terhadap penderitaan masyarakat, tidak berbuat banyak untuk memperbaiki sistem kesehatan negara.
Banyak analis yang mengharapkan hal-hal besar dari perekonomian Indonesia. Misalnya, beberapa tahun lalu, PWC memprediksikan Indonesia bisa menjadi ekonomi terbesar keempat dunia pada tahun 2050. Dan Jokowi sendiri sudah menyatakan ambisinya agar Indonesia menjadi negara maju pada tahun 2045.
Namun meski “raja infrastruktur” ini telah membuat kemajuan dalam mengurangi defisit infrastruktur besar-besaran di Indonesia, Bland berpendapat bahwa Indonesia masih diliputi oleh pemikiran ekonomi heterodoks yang menentang hukum daya saing ekonomi.
“Dengan keengganan yang mendalam terhadap ekonomi liberal, Indonesia tidak akan sepenuhnya merangkul pasar bebas dan perdagangan bebas dalam waktu dekat,” tulis Bland.
Jokowi telah menasionalisasi beberapa proyek energi terbesar di negara itu, dan memprioritaskan pengembangan badan usaha milik negara, yang banyak di antaranya dikelola dengan sangat buruk dan penuh korupsi.
Menurut Bland, investasi asing telah membantu menggerakkan ekonomi seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand, namun Indonesia masih melihatnya sebagai alat penindasan kolonial. Kekuatan besar oligarki dan militer Indonesia dinilai menjadi faktor utama penghambat investasi asing.
Menurut data Bank Dunia, tidaklah mengherankan bahwa PDB per kapita negara seperti Thailand, yang telah mengalami ketidakstabilan politik yang jauh lebih besar, lebih tinggi sekitar 55 persen dari Indonesia.
Memang, perekonomian Indonesia sedang bergejolak dengan laju pertumbuhan 5-6 persen, sekitar setengah dari negara-negara seperti China dan Jepang yang sedang dalam periode pertumbuhan tinggi. Padahal tonjolan demografis harusnya dapat menciptakan keuntungan demografis, namun Indonesia menyia-nyiakan peluangnya dengan tidak menciptakan lapangan kerja yang cukup.
Jokowi juga dipuja oleh banyak politisi dan pakar Barat karena terpikat oleh pesonanya. Mantan Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull menyebutnya “salah satu pemimpin paling penting di dunia” dan “kucing yang keren dalam segala hal” dalam memoarnya yang baru-baru ini diterbitkan.
Memang, negara-negara seperti Australia dan Jepang telah menggantungkan harapan mereka pada Indonesia untuk menjadi bagian dari aliansi kekuatan menengah yang dapat mengimbangi China. Tapi seperti yang ditunjukkan Bland dengan tepat, Jokowi tidak punya waktu untuk politik kekuatan besar. Ia lebih tertarik untuk menarik bantuan keuangan dari China yang kini banyak membiayai proyek infrastruktur.
Wawasan menarik yang diberikan Bland tentang hubungan luar negeri Indonesia terjadi ketika Moeldoko, Kepala Staf Jokowi, bertemu dengan Duta Besar China untuk Indonesia pada akhir 2019. Sementara Barat mencela penindasan Beijing terhadap orang-orang Uighur di Xinjiang, Moeldoko malah menyatakan simpati kepada pemerintah China. Ia jelas lebih khawatir dengan gerakan separatis Indonesia, terutama di Papua.
Buku Bland memberikan kontribusi besar bagi pemahaman kita tentang Indonesia, serta Jokowi sebagai subjek utama. Tetapi di pengujung akhir buku, alangkah baiknya lebih banyak pandangannya tentang apa yang bisa terjadi selanjutnya dalam cerita Indonesia. Seperti yang ia simpulkan secara singkat, memang ada batasan tentang apa yang mungkin di Indonesia. Australia perlu memiliki pemahaman yang lebih baik tentang batasan ini, dan belajar untuk bekerja sama secara lebih efektif dan realistis dengan tetangga pentingnya. [wip]