(IslamToday ID) – Parlemen China menyetujui draf keputusan sistem pemilu Hong Kong yang dinilai membatasi kebebasan warga Hong Kong untuk menentukan suara atau memilih pemimpin yang diinginkan.
Sebanyak 2.895 suara diperoleh dari anggota Kongres Rakyat Nasional (NPC) Beijing untuk draf keputusan tersebut, tanpa suara yang menentang dan satu abstain.
Pengesahan draf keputusan itu dianggap tak terbantahkan setelah pemerintah China mengumumkan rencana untuk mengubah sistem pemilu Hong Kong awal bulan ini. Suara NPC dianggap sebagai seremonial semata.
Tujuan yang dinyatakan dari draf perubahan itu untuk memastikan hanya “patriot” yang memerintah Hong Kong. Patriot, menurut definisi yang dijelaskan oleh pejabat China, tak hanya setia kepada negara, namun juga setia kepada Partai Komunis.
“Ketika kita berbicara tentang patriotisme, kita tidak berbicara tentang abstraksi mencintai budaya atau sejarah Tiongkok, melainkan mencintai Republik Rakyat Tiongkok yang saat ini ada di bawah kepemimpinan Partai Komunis Tiongkok,” jelas Wakil Komisaris Kementerian Luar Negeri China di Hong Kong, Song Ru’an seperti dikutip dari CNN, Jumat (12/3/2021).
“Patriot harus menghormati Partai Komunis China,” tambahnya.
Keputusan tersebut mencakup rencana untuk mengubah jumlah dan komposisi badan legislatif di Hong Kong, dengan meningkatkan jumlah kursi dari 70 menjadi 90. Oleh karena itu, mengurangi persentase keseluruhan pejabat yang dipilih secara demokratis.
Komite Pemilihan, sebuah badan yang saat ini bertanggung jawab untuk memilih kepala eksekutif kota, akan ditambah dari 1.200 menjadi 1.500 anggota, dan diberi wewenang untuk mencalonkan calon legislatif, serta wewenang untuk menunjuk sekitar sepertiga dari anggota parlemen.
Sepertiga sisanya akan diambil oleh konstituen fungsional, yang dipilih oleh badan perdagangan dan industri.
Pekan lalu, juru bicara NPC, Zhang Yesui mengatakan kerusuhan tahun 2019, saat Hong Kong diguncang protes anti-pemerintah menunjukkan bahwa sistem pemilihan perlu diperbaiki untuk memastikan pemerintahan patriot.
Setelah kerusuhan, kandidat pro-demokrasi menang telak dalam pemilihan lokal dan diharapkan melanjutkan kinerja tersebut dalam pemilihan parlemen yang dijadwalkan pada September 2020.
Namun, pemilihan itu ditunda karena alasan pandemi virus corona. Sejak saat itu, pemerintah bergerak menuntut puluhan politisi pro-demokrasi terkemuka, sebab keterlibatannya dalam pemungutan suara menjelang tanggal pemilihan awal.
Jaksa penuntut mengklaim oposisi bertujuan memenangkan kursi yang cukup guna memblokir anggaran pemerintah dan berpotensi memaksa kepala eksekutif untuk mengundurkan diri.
Rencana itu dianggap sesuai dengan konstitusi kota, namun sejak ada wabah corona dianggap bertentangan dengan undang-undang keamanan nasional yang diterapkan Hong Kong tahun lalu atas perintah Beijing.
Seharusnya mereka menghindari potensi penjara 10 tahun atau lebih, bagi yang dinyatakan bersalah melakukan subversi. Para aktivis dan mantan anggota parlemen yang dituntut kemungkinan akan sulit untuk masuk kembali ke politik di bawah undang-undang baru.
Tahun lalu, banyak kandidat ditolak dari pencalonan oleh petugas, karena dianggap kurangnya patriotisme atau dugaan pelanggaran UU Keamanan Nasional, yang juga mengkriminalisasi pemisahan diri dan kolusi dengan pasukan asing.
Pemimpin Hong Kong Carrie Lam mengatakan tidak ada yang disebut standar demokrasi internasional. Menurutnya, setiap demokrasi harus melihat ke dalam konteks yang tepat dari negara tertentu, atau tempat tertentu itu.
“Kami meningkatkan sistem pemilihan dengan memastikan bahwa siapapun yang memerintah dan mengelola Hong Kong di masa depan adalah seseorang yang mencintai negara, yang mencintai Hong Kong,” tambahnya. [wip]