ISLAMTODAY ID-Perdana Menteri Israel Naftali Bennett mengatakan dia akan terus memperluas permukiman yang ada di Tepi Barat yang dianggap ilegal menurut hukum internasional.
Bennett memulai perjalanan pertamanya ke Washington sebagai perdana menteri Israel awal pekan ini dan dijadwalkan bertemu dengan Menteri Luar Negeri Antony Blinken dan Menteri Pertahanan Lloyd Austin pada hari Rabu (25/8), diikuti dengan pertemuan dengan Biden di Gedung Putih pada hari Kamis (26/8).
Dalam sebuah wawancara dengan The New York Times yang diterbitkan Selasa (24/8) malam, Bennett mengatakan dia akan memperluas permukiman ilegal Israel yang ada di wilayah pendudukan.
“Pemerintah ini tidak akan mencaplok atau membentuk negara Palestina, semua orang mendapatkannya,” ujar Bennett, seperti dilansir dari MEE, Rabu (25/8).
Perdana Menteri Israel, yang merupakan mantan kepala Dewan Yesha, payung untuk permukiman Yahudi Israel, mengatakan Israel akan terus memperluas permukiman Israel yang ada di Tepi Barat yang diduduki yang dianggap ilegal menurut hukum internasional.
“Israel akan melanjutkan kebijakan standar pertumbuhan alami,” ujarnya.
Pemimpin Israel telah menentang pembentukan negara Palestina merdeka dan menolak berkomentar apakah dia akan memblokir rencana pemerintahan Biden untuk membuka kembali konsulat Palestina di Yerusalem Timur.
“Yerusalem adalah ibu kota Israel. Bukan ibu kota negara lain,” tambahnya.
Namun, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengakui Yerusalem Timur sebagai wilayah pendudukan Palestina dan telah mengatakan bahwa “Israel tidak dapat memaksakan perangkat hukumnya sendiri di wilayah pendudukan”.
Pengepungan Gaza
Bennett juga mengatakan bahwa blokade Israel di Jalur Gaza akan berlanjut sementara Hamas, kekuatan de facto yang berkuasa di sana, mempertahankan senjata dan meluncurkan roket ke Israel.
Israel dan Mesir telah mempertahankan blokade ketat di wilayah itu sejak Hamas memenangkan pemilihan legislatif pada tahun 2006 dan menguasai Jalur Gaza, dengan pergerakan orang dan barang masuk dan keluar dari Gaza sangat dibatasi.
Bennett menambahkan bahwa dia akan siap untuk memasuki konflik bersenjata lain melawan Hamas, bahkan jika itu berarti kehilangan dukungan dari empat anggota parlemen Palestina dalam koalisinya.
“Saya akan melakukan apa yang diperlukan untuk mengamankan orang-orang saya,” ujar Bennett.
“Saya tidak akan dan tidak akan pernah melibatkan pertimbangan politik dalam keputusan terkait pertahanan dan keamanan.”
Bennett menyetujui pemboman yang diklaim Israel sebagai lokasi Hamas di Gaza pada Sabtu(21/8) dan Senin (23/8) malam.
Pemboman Gaza pada hari Sabtu (21/8) terjadi setelah pasukan Israel menembak dan melukai lebih dari dua lusin pengunjuk rasa Palestina yang memperingati 52 tahun serangan pembakaran tahun 1969 di Masjid al-Aqsa.
Dalam wawancara tersebut, Bennett mengatakan dia akan meyakinkan Presiden AS Joe Biden untuk membatalkan rencananya untuk memasuki kembali kesepakatan nuklir Iran dan menyajikan visi strategis baru tentang Republik Islam.
Bennet mengatakan rencana itu akan mencakup penguatan hubungan dengan negara-negara Arab yang menentang pengaruh regional Iran dan ambisi nuklir, mengambil tindakan diplomatik dan ekonomi terhadap Iran, dan melanjutkan serangan klandestin Israel terhadap Iran, termasuk apa yang disebutnya “hal-hal wilayah abu-abu.”
“Apa yang perlu kami lakukan, dan apa yang kami lakukan, adalah membentuk koalisi regional dari negara-negara Arab yang masuk akal, bersama dengan kami, yang akan menangkis dan memblokir ekspansi ini dan keinginan untuk mendominasi [oleh Iran],” ujar Bennett.
Sejak Joe Biden menjabat pada Januari, pemerintahannya telah berusaha untuk kembali ke kesepakatan nuklir Iran 2015.
Pada bulan April, AS dan Iran secara informal memulai pembicaraan untuk memasuki kembali kesepakatan yang ditengahi oleh lima penandatangan perjanjian lainnya – Rusia, China, Prancis, Jerman, dan Inggris.
Namun, putaran terakhir negosiasi di Wina berakhir tanpa tanggal yang ditentukan untuk putaran berikutnya.
(Resa/TRTWorld/The New York Times)