ISLAMTODAY ID-Artikel ini ditulis oleh Suhail al-Ghazi, asisten peneliti di ORSAM dan peneliti non-residen di Tahrir Institute for Middle East Policy dengan judul An economic deal with a political agenda: The power supply plan for Lebanon.
Setelah dipinggirkan dari politik internasional selama bertahun-tahun, rezim Suriah kembali terlibat dalam kesepakatan regional saat Washington berusaha membatasi pengaruh Iran.
Pada bulan Agustus lalu, kepresidenan Lebanon mengumumkan bahwa Amerika Serikat memutuskan untuk membantu Lebanon mendapatkan akses listrik, seperti dilansir dari TRTWorld, Kamis (26/8).
Hal ini terjadi setelah pertemuan antara Duta Besar AS untuk Lebanon, Dorothy Shea, dan Presiden Michel Aoun.
Rencana yang disetujui antara para pihak akan memungkinkan listrik untuk ditransfer ke Lebanon melalui jaringan listrik bersama antara Lebanon dan Suriah, dan Suriah dan Yordania, yang akan memperoleh tambahan gas Mesir untuk tujuan memproduksi listrik untuk konsumsi Lebanon.
Pengumuman ini muncul sehubungan dengan krisis listrik yang parah, yang telah sangat mempengaruhi mata pencaharian warga Lebanon dan setiap sektor ekonomi.
Sementara itu, hal pertama dari rencana yang diusulkan AS yaitu Yordania menghasilkan listrik dan kemudian mentransfernya ke Lebanon melalui jaringan Suriah yang menghubungkan kedua negara.
Hal kedua yaitu memasok gas Mesir ke Lebanon melalui Pipa Gas Arab.
Dalam kedua kasus tersebut, Suriah, dan selanjutnya rezim Suriah dan pelaku bisnis afiliasinya, akan memainkan peran utama.
Memang, selain fakta bahwa jaringan listrik Suriah akan berfungsi sebagai vektor utama listrik antara Yordania dan Libanon, Suriah juga menjadi pusat berfungsinya Arab Gas Pipeline yang melewati Yordania dan kemudian Suriah.
Pasokan gas melalui pipa terhenti pada tahun 2011.
Hal ini terjadi akibat pengurangan ekspor Mesir untuk fokus pada kebutuhan dalam negeri, di samping pecahnya protes rakyat terhadap rezim Assad di Suriah.
Pipa gas juga menjadi sasaran beberapa pemboman teroris di Sinai dan Suriah.
Tujuan Politik di Balik Layar
Kesepakatan potensial memanfaatkan gas Mesir untuk menopang konsumsi listrik di negara-negara yang terkena dampak krisis ekonomi di Timur Tengah.
Hal ini pertama kali disebutkan dalam pernyataan Menteri Perminyakan Irak Ihsan Abdul Jabbar, setelah pertemuan dengan rekanannya dari Suriah Bassam Toa’me di Baghdad pada akhir April yang mengungkapkan niat Irak untuk mengimpor gas Mesir melalui Suriah.
Sementara itu, pernyataan ini diikuti oleh kunjungan mantan Perdana Menteri Lebanon yang sekarang ditunjuk Saad Hariri ke Mesir.
Selain itu juga didukung oleh pernyataan medianya pada pertengahan Juni tentang mencapai kesepakatan dengan Kairo untuk mengimpor gas melalui Yordania dan Suriah.
Hariri juga menyebutkan bahwa langkah ini diusulkan oleh Yordania ke AS untuk memastikan tidak terpengaruh oleh sanksi yang diatur oleh Caesar Act.
Memang, perjanjian ini sesuai dengan rencana yang disampaikan oleh Raja Yordania Abdullah kepada Presiden AS Joe Biden, yang menurut para ahli kemungkinan bertujuan untuk membangun kembali hubungan dengan rezim Suriah dalam mengurangi ketergantungan rezim pada Iran.
Oleh karena itu, kemungkinan akan mencakup pemberian insentif kepada rezim Suriah untuk membujuknya menilai kembali hubungannya dengan Iran.
Lebih lanjut, sanksi yang diatur AS tidak akan menjadi hambatan bagi efektivitas rencana tersebut karena Presiden Biden memiliki kekuatan untuk mengeluarkan pengecualian sanksi tanpa merujuk ke Kongres atau mengandalkan persetujuannya.
Ini bukan pertama kalinya AS memberikan pengecualian, karena SDF, sayap politik YPG/PKK, sudah dibebaskan dari sanksi meskipun berurusan dengan keluarga al Qaterji yang terkena sanksi terkait perdagangan minyak.
Menuju normalisasi dengan rezim Suriah?
Rezim Suriah kemungkinan besar akan mendapat manfaat dari kesepakatan itu.
Pertama, rezim Suriah akan dibayar untuk mengizinkan gas dan listrik ditransfer melalui Suriah dan infrastrukturnya, meskipun jumlah biaya yang dibayarkan kepada rezim belum ditentukan.
Dalam konteks perbaikan yang diperlukan untuk diterapkan di Suriah, rezim Suriah akan dapat memperoleh manfaat karena kontrak untuk memperbaiki pipa dan infrastruktur akan diberikan kepada salah satu dari banyak pengusaha yang berafiliasi dengan rezim, oleh karena itu secara langsung membiayainya.
Saat ini, sebagian besar pengusaha Suriah dikenai sanksi oleh AS dan UE, dan masih harus dilihat apakah pengecualian juga akan dibuat untuk perbaikan yang diperlukan agar kesepakatan gas dapat berlangsung secara efektif.
Pada catatan lain, mengingat kurangnya sumber daya keuangan Lebanon dan Suriah, kemungkinan Bank Dunia perlu turun tangan untuk membiayai upaya perbaikan infrastruktur yang diperlukan.
Hal ini dapat menimbulkan pertanyaan tentang kemungkinan bantuan keuangan ini berakhir di tangan rezim Suriah.
Kedua, kesepakatan akan membutuhkan kesepakatan politik antara Yordania dan Lebanon dan rezim Suriah untuk tujuan perbaikan jaringan listrik dan infrastruktur yang terkait dengan pipa gas.
Keterlibatan tersebut sebelumnya dibahas dalam pertemuan pada Juni 2021 antara Menteri Energi dan Listrik Yordania, Hala Zawati dan Menteri Minyak Bassam Toa’me dari rezim Suriah, dan Menteri Listrik Ghassan al Zamil, dalam kunjungan pertama seorang pejabat Yordania ke Suriah sejak 2011.
Langkah ini menandai peningkatan normalisasi hubungan dengan rezim, setelah UEA dan Bahrain membuka kembali kedutaan mereka di Damaskus pada akhir tahun 2018.
Selain kemungkinan manfaat ekonomi dan diplomatik regional, rezim Suriah mungkin tertarik dengan perkembangan politik yang terjadi di sela-sela kesepakatan ini yang dapat memungkinkan rezim untuk kembali ke kursinya di Liga Arab dan mendapat manfaat dari perdagangan dengan negara-negara Arab.
Seperti disebutkan sebelumnya, kesepakatan ekonomi ini, selain berfokus pada Lebanon, juga bertujuan untuk menjawab keinginan Pemerintah AS dalam mendorong pembentukan kembali hubungan antara Yordania dan Suriah dengan tujuan mengurangi pengaruh dan kekuatan Iran di Suriah.
Pertemuan antara Presiden AS dan Raja Yordania ini merupakan bagian dari upaya baru Yordania untuk mengembalikan peran diplomatik Amman di dunia Arab melalui negosiasi dengan pimpinan Amerika dan Rusia untuk mencapai solusi baru bagi krisis Suriah.
Langkah ini dlilakukan dengan mengandalkan pendekatan politik, bukan daripada pendekatan berbasis sanksi dan militer yang digunakan di kawasan sejak awal krisis pada tahun 2011.
Sementara itu, Yordania, didukung oleh negara-negara Arab seperti Mesir, ingin mencapai terobosan di poros pro-Iran dengan menawarkan solusi untuk krisis listrik di Irak dan Lebanon dalam upaya untuk mencegah Iran meningkatkan pengaruhnya di negara-negara tersebut dan memberikan dukungan politik elit alternatif untuk pengaruh Iran yang luar biasa.
Di sisi lain, kesepakatan ini tidak akan memberikan peluang yang signifikan bagi rezim Suriah: secara finansial, biaya yang dibayarkan kepada rezim untuk melewati gas dan listrik melalui Suriah tidak akan memiliki efek signifikan positif pada ekonomi yang sedang berjuang.
Lebih lanjut, langkah AS ini tidak akan berdampak pada kebijakannya terkait sanksi atau keterlibatan dengan rezim, tetapi menjadi pesan kepada Rusia bahwa sanksi dapat diubah jika rezim mengubah perilakunya.
Ini menunjukkan bahwa AS dapat mengambil langkah nyata untuk solusi Suriah jika terkait dengan tujuannya, termasuk mengubah perilaku rezim terhadap Iran dan Hizbullah.
(Resa/TRTWorld)