ISLAMTODAY — Pada tahun 2014, Lew Rockwell menulis, “Jelas kekaisaran menargetkan China… AS berusaha untuk mengepung China dan membuatnya tunduk, karena meningkatnya kemakmuran dan kebebasan China mengancam citra diri kekaisaran.”
Perang Dingin baru Amerika dengan China adalah proyek AS yang bi-partisan baik di pihak partai Demokrat ataupun Republik.
Pada tahun 2011, mantan Presiden Barack Obama dari partai Demokrat memulainya dengan sungguh-sungguh, menjulukinya “Asia Pivot.”
‘Pivot’ mencakup mengelilingi China dengan ratusan pangkalan dan memindahkan dua pertiga dari semua angkatan laut dan udara AS ke Asia-Pasifik, penumpukan militer terbesar sejak Perang Dunia II.
Donald Trump setelah menjabat melalui partai Republik secara signifikan memperbesar jejak militer AS di tempat yang sekarang disebut sebagai wilayah “Indo-Pasifik” dan secara signifikan meningkatkan provokasi China.
Sekarang Presiden Joe Biden dari partai Demokrat meningkatkan ketegangan dengan Beijing ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Biden telah mengatakan secara blak-blakan bahwa AS berada dalam “persaingan ekstrem” dengan China.
Dalam pidato pertamanya di Kongres, Biden mengatakan kami bersaing dengan China untuk “memenangkan abad ke-21.”
Saat ini Washington telah menghabiskan lebih banyak uang untuk militer dan apa yang disebut “pertahanan” daripada kapan pun dalam sejarah negara itu.
Neocons Partai Republik mengatakan bahwa bahkan permintaan anggaran keamanan nasional 2022 Biden lebih dari $750 miliar tidak cukup untuk melawan China dan menuntut jumlah itu ditingkatkan hingga puluhan miliar.
Alasan Pentagon untuk rekor pengeluarannya yang tinggi adalah Beijing, yang disebut “ancaman berulang.”
China merupakan ancaman bagi dominasi dunia AS, setidaknya itulah yang dikatakan oleh Ketua Kepala Staf Gabungan Jenderal Mark Milley.
Menurut sang jenderal, sejak berakhirnya Perang Dingin sebelumnya, Amerika telah memegang “kekuatan militer, politik, dan ekonomi global yang tak tertandingi. Dengan kebangkitan China, itu berubah dan berubah dengan cepat.”
Militer AS Terus Memprovokasi China
Tahun lalu, ketika AS terganggu oleh krisis COVID-19, kabinet Trump mengambil kesempatan untuk secara dramatis memperluas aktivitas militer di sekitar China. Kapal perang AS dan kapal induk berlayar di Laut Cina Selatan secara terus-menerus.
Pada Juli 2020, menurut Inisiatif Penyelidikan Situasi Strategis Laut China Selatan (SCSPI), think tank yang berbasis di Beijing, AS melakukan rekor penerbangan pengintaian udara di Laut China Selatan dan dekat pantai China.
Jumlah penerbangan pengintaian rata-rata tiga sampai lima per hari. Pada bulan yang sama, pemerintahan Trump secara resmi menolak hampir semua klaim China atas perairan di Laut China Selatan.
Kebijakan ini telah ditegaskan kembali oleh rezim Biden. Di bawah kedua pemerintahan, AS telah menantang China, dan memfokuskan diri bergabung ke dalam perselisihan antara aktor-aktor regional di Laut China Selatan.
Bahkan jika itu berarti perang dengan China, pemerintahan Biden telah berjanji bahwa AS akan membela klaim sekutu-sekutunya baik itu Taiwan, Jepang, Filipina atas kawasan yang disengketakan.
Baik itu janji AS untuk mendukung Jepang terkait Kepulauan Senkaku yang diklaim oleh China, Jepang dan Taiwan, bahkan siap bertempur bila diperlukan.
Demikian pula, Washington telah berjanji militer AS akan datang ke pertahanan Filipina jika terjadi konflik kekerasan dengan China, termasuk di Laut China Selatan, yang berpotensi atas Karang Whitson yang disengketakan.
Karang Whitson, baru-baru ini menjadi lokasi ketegangan yang diklaim tidak hanya oleh China dan Filipina tetapi juga oleh Vietnam.
Angkatan Laut AS secara rutin melakukan apa yang disebutnya Operasi Kebebasan Navigasi (FONOPS) di perairan sekitar karang Whitson ini.
Mereka juga berlayar dengan kapal perang melalui perairan, khususnya di Laut China Selatan, biasanya secara provokatif dekat dengan pulau-pulau yang dikuasai atau diklaim China.
Selain itu banyak pesawat tempur dan pesawat mata-mata AS di dekat pantai China terlihat dan dicatat. Setidaknya ada 60 penerbangan termasuk di atas Laut Cina Selatan, Laut Cina Timur, dan Laut Kuning.
AS mengirim pesawat pengisian bahan bakar dari Guam untuk mengisi kembali pesawat mata-mata yang memungkinkan mereka melanjutkan operasi mereka.
Seperti yang ditulis oleh Dave DeCamp, editor berita di Antiwar.com, SCSPI menafsirkan serangan mendadak ini sebagai tindakan AS yang berpotensi “mempersiapkan serangan jarak jauh terhadap target di Laut Cina Selatan.”
Memang, Kementerian Pertahanan China telah menyatakan bahwa sejak Biden menjabat, situasi yang bergejolak di kawasan itu semakin memburuk.
Seperti yang dilaporkan South China Morning Post, Pada hari ketika Biden menargetkan Beijing dalam pidato pertamanya di sesi gabungan Kongres.
Juru bicara kementerian pertahanan China Wu Qian mengatakan operasi AS telah meningkat lebih dari 40 persen dibandingkan di bawah pemerintahan Donald Trump.
Selama pemerintahaan Biden saat ini, kapal induk AS telah berulang kali dikirim ke Laut Cina Selatan, termasuk, dalam satu contoh, untuk latihan kapal induk ganda.
Lalu, baru-baru ini, pada 14 Mei 2021, Angkatan Laut AS mengumumkan pengerahan dua pesawat tak berawak MQ-4C Triton dari Guam ke Jepang Utara, pengerahan pertama kendaraan udara tak berawak (HALE-UAV) dengan daya tahan tinggi ke Jepang.
Drone ini memata-matai Selat Taiwan, pangkalan Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) di pantai, dan instalasi militer di Laut China Selatan.
Pada bulan Maret, RC-135U Angkatan Udara AS terbang dalam jarak 25,33 mil laut dari pantai China, lebih dekat daripada pesawat militer AS yang pernah tercatat.
Pada bulan April, sebuah kapal perusak Amerika melakukan pengawasan ketat terhadap kapal induk China Liaoning saat sedang mengambil bagian dalam latihan di Laut China Selatan.
AS juga sering mengerahkan pesawat militer untuk memata-matai latihan China.
Pada bulan Juli, laporan mengindikasikan Angkatan Laut AS telah cukup sibuk tahun ini membangun penyebaran hampir tanpa henti kapal pengintai di Laut Cina Selatan.
Asia Pivot AS atas China
Dalam pidato Kongres pertamanya yang disebutkan di atas, Biden membual bahwa dia “juga memberi tahu Presiden Xi bahwa kami akan mempertahankan kehadiran militer yang kuat di Indo-Pasifik seperti yang kami lakukan dengan NATO di Eropa…”
Dengan demikian, sekutu Washington masuk ke Asia Pivot.
Inggris dengan segera memerintahkan berlayar kapal induk baru mereka HMS Queen Elizabeth dan kelompok serangannya yang mencakup kapal perusak dan pesawat tempur Amerika juga, ke Laut Cina Selatan.
Kapal perang HMS Defender sudah ada di sana. London juga akan secara permanen menempatkan dua kapal perang di Asia. Hal ini dinyatakan dalam pernyataan bersama dengan Jepang.
Selain itu Jepang adalah perantara yang akan menjadi negara penguhubung AS dan NATO di Asia, selai itu Jepang juga merupakan bagian dari Dialog Keamanan Segiempat, atau dikenal sebagai Quad, bersama dengan AS, India, dan Australia.
AS berharap untuk membuat Quad menjadi aliansi gaya NATO di Asia Timur.
Financial Times sebut “pemerintahan Biden menjadikan Quad sebagai inti dinamis dari kebijakan Asia-nya.”
Tahun lalu, dalam pesan yang tidak salah lagi ke China, angkatan laut Quad mengadakan latihan perang di Teluk Benggala, latihan terbesar mereka dalam lebih dari satu dekade.
Apa yang terjadi hari ini AS di Asia telah diperjelas oleh pejabat tinggi AS di Asia Kurt Campbell, kepala Urusan Indo-Pasifik di Dewan Keamanan Nasional, berbicara
“Untuk pertama kalinya, sungguh, kami sekarang mengalihkan fokus strategis kami, kepentingan ekonomi kami, militer kami lebih ke Indo-Pasifik,” (Rasya)