ISLAMTODAY — Sistem senjata otonom telah terbukti dapat membunuh manusia tanpa memerlukan operator manusia dalam operasinya, begitulah menurut laporan Dewan Keamanan PBB terjadi pada perang di Libya tahun 2020.
Para analis dapat dengan baik mengidentifikasi ini sebagai titik awal dari perlombaan senjata besar berikutnya yang akan menggeser perlombaan senjata nuklir negara-negara adidaya.
Sistem senjata otonom adalah robot dengan senjata mematikan yang dapat beroperasi secara independen, memilih dan menyerang target tanpa manusia yang mengoprasikannya.
Militer di seluruh dunia banyak berinvestasi dalam penelitian dan pengembangan senjata otonom ini.
Bahkan AS menganggarkan 18 miliar dolar AS untuk senjata otonom pada tahun 2016 dan 2020.
Sementara itu, organisasi hak asasi manusia dan kemanusiaan berlomba-lomba menetapkan peraturan dan larangan pengembangan senjata tersebut.
Para ahli kebijakan luar negeri juga telah memperingatkan bahwa teknologi senjata otonom akan membahayakan stabilitas strategi nuklir saat ini, karena senjata itu dapat secara radikal mengubah situasi secara cepat.
Bahkan senjata itu dapat meningkatkan bencana yang terjadi karena senjata otonom dapat digabungkan dengan bahan kimia, biologi, radiologis. dan senjata nuklir itu sendiri.
Kesalahan mematikan dari senjata otonom
Terdapat beberapa bahaya utama dari senjata otonom.
Yang pertama adalah masalah kesalahan identifikasi.
Misalnya saat memilih target senjata otonom tidak dapat dengan mudah membedakan antara tentara musuh dan anak berusia 12 tahun yang bermain dengan senjata mainan?
Antara warga sipil yang melarikan diri dari lokasi konflik dan pemberontak yang mundur taktis?
Masalahnya di sini bukanlah bahwa mesin akan membuat kesalahan seperti itu dan manusia tidak.
Perbedaan antara kesalahan manusia dan kesalahan algoritma adalah seperti perbedaan antara mengirim surat melalui pos dan tweeting di twitter. Skala, cakupan, dan kecepatan sistem robot pembunuh lebih luas dan mengerikan.
Kedua, Senjata otonom negara-negara adidaya cenderung menyebabkan perang yang lebih besar dan sering membunuh warga sipil.
Selain itu senjata otonom telah merusak hukum perang yang berlaku
Dimana senjata otonom akan mengabaikan hukum perang internasional.
Hukum perang yang telah tercantum dalam undang-undang Konvensi Jenewa 1864, yang merupakan garis biru tipis internasional yang memisahkan perang dengan kehormatan dari pembantaian.
Undang-undang ini didasarkan pada gagasan bahwa orang dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan mereka bahkan selama masa perang.
Contoh menonjol dari seseorang yang dimintai pertanggungjawaban adalah Slobodan Milosevic, mantan presiden Republik Federal Yugoslavia, yang didakwa atas tuduhan kejahatan perang oleh Pengadilan Kriminal Internasional PBB
Tetapi bagaimana senjata otonom dapat dimintai pertanggungjawaban? Siapa yang harus disalahkan atas robot yang melakukan kejahatan perang?
Siapa yang akan diadili? Senjata? operator? Perusahaan yang membuat senjata itu? Organisasi non-pemerintah dan pakar hukum internasional khawatir bahwa senjata otonom akan menyebabkan kekacauan yang serius bila tidak ada yang dapa di adili.
Maka tak heran bila senjata otonom terus digunakan akan ada kejahatan perang tanpa penjahat perang yang harus bertanggung jawab.
Struktur hukum perang internasional dan tindakan preventif untuk pencegahaan agar perang tidak terjadi secara signifikan akan diabaikan.
Bayangkan sebuah dunia di mana militer, kelompok pemberontak dan teroris internasional dan domestik dapat mengerahkan kekuatan mematikan yang secara teoritis tidak terbatas dengan risiko nol kerugian.
Secara teoritis dapat selalu melakukan serangan pada waktu dan tempat yang mereka pilih, tanpa pertanggungjawaban hukum. (Rasya)