ISLAMTODAY ID-Artikel ini ditulis oleh Daniel Holl melalui The Epoch Times dengan judul China’s Belt And Road Faces Growing Opposition From Participating Countries As Debts Mount.
Inisiatif Sabuk dan Jalan China (BRI) menghadapi penentangan yang meningkat dari negara-negara yang berpartisipasi karena utang mereka yang terkait dengan proyek-proyek China meningkat, menurut sebuah studi baru-baru ini.
Diluncurkan pada tahun 2013 oleh pemimpin China Xi Jinping, BRI mungkin kehilangan dorongannya karena serangan balik berbasis utang, menurut sebuah studi dari AidData, sebuah lab penelitian di William & Mary’s Global Research Institute.
Studi ini menganalisis 13.427 proyek yang didukung oleh China di lebih dari 165 negara selama 18 tahun.
Nilai total proyek mencapai USD 843 miliar.
AidData menemukan bahwa 35 persen proyek BRI berurusan dengan masalah implementasi, “seperti skandal korupsi, pelanggaran perburuhan, bahaya lingkungan, dan protes publik.”
Brad Parks, salah satu penulis studi tersebut, mengatakan “semakin banyak pembuat kebijakan di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah menghentikan proyek-proyek BRI profil tinggi karena masalah harga yang terlalu mahal, korupsi, dan keberlanjutan utang.”
Ekspansi Global
BRI yang berfungsi sebagai alat untuk ekspansi global Partai Komunis China (PKC)—membiayai pinjaman yang sangat besar kepada negara-negara berkembang untuk membangun infrastruktur.
Proyek-proyek mencolok telah digambarkan sebagai bagian dari apa yang disebut diplomasi jebakan utang karena pinjaman yang seringkali tidak dapat dibayar akan memaksa negara-negara tersebut untuk membayar kembali China dengan barang atau tanah.
Bank-bank milik negara China memberikan pinjaman kepada negara-negara yang hampir tidak mampu mereka bayar.
Pinjaman tersebut kemudian digunakan untuk membayar perusahaan China dalam rangka membangun infrastruktur, termasuk pembangunan jalan, pelabuhan, pembangkit listrik, tambang, telekomunikasi, atau lembaga perbankan.
Jika negara tersebut tidak mampu membayar, mereka harus memberikan aset kepada China seperti hak eksploitasi jangka panjang untuk sumber daya alam, atau sewa infrastruktur yang dibangun menggunakan pinjaman tersebut.
Menurut laporan AidData, 42 negara berpenghasilan rendah dan menengah memiliki eksposur utang publik ke China yang melebihi 10 persen dari produk domestik bruto (PDB).
“China telah menggunakan utang daripada bantuan untuk membangun posisi dominan di pasar keuangan pembangunan internasional,” ujar laporan itu, seperti dilansir dari ZeroHedge, Selasa (5/10).
Laporan tersebut mengatakan bahwa para peneliti memperkirakan pemerintahan dari rata-rata negara berpenghasilan rendah hingga menengah yang berpartisipasi dalam BRI tidak melaporkan kewajiban pembayaran aktual dan potensialnya ke China dengan jumlah yang setara dengan 5,8 persen dari PDB-nya.
“Secara kolektif, utang yang tidak dilaporkan ini bernilai sekitar USD 385 miliar,” ujar laporan itu.
Ketika setuju untuk bergabung dengan BRI, negara-negara berharap infrastruktur baru akan meningkatkan PDB mereka tidak hanya untuk membayar utang, tetapi juga keuntungan di masa depan.
Namun, sebagian besar negara tidak menjadi makmur dari proyek tersebut, menurut Antonio Graceffo, seorang profesor ekonomi.
Graceffo berpendapat bahwa negara-negara termiskin dibebani dengan utang BRI, mengutip laporan Bank Sentral yang menyatakan 23 persen negara yang terlibat dalam inisiatif tersebut mengatakan utang BRI membangun utang luar negeri hingga tingkat yang tidak berkelanjutan.
Misalnya, pada bulan Desember 2017 Sri Lanka menyewakan Pelabuhan Hambantota utama ke Beijing selama 99 tahun, karena ketidakmampuannya membayar pinjaman BRI sebesar USD 1,4 miliar.
Hal ini memberi PKC basis utama di Samudra Hindia.
Dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh Gatestone Institute, Lawrence A. Franklin menyatakan bahwa manfaat ekonomi BRI—terutama di negara-negara dunia ketiga—dipertanyakan, dan “beberapa dari paket bilateral ini tampaknya dibuat untuk memenjarakan negara-negara yang sudah miskin menjadi wilayah pengikut ekonomi permanen China.”
Franklin lebih lanjut mengatakan bahwa tujuan Beijing dengan BRI tidak hanya ekonomi tetapi juga strategis dan politik.
“Proyeknya tampaknya tidak dirancang sedemikian rupa untuk memenangkan teman baru tetapi untuk memenangkan tanggungan baru, terutama di daerah-daerah yang diabaikan oleh Barat atau di lingkungan pengaruh Barat.”
Kajian AidData juga mengevaluasi bahwa sejak tahun 2013 banyak terjadi penangguhan dan pembatalan di negara-negara peserta BRI. Malaysia membatalkan proyek senilai USD 11,58 miliar, Kazakhstan hampir USD 1,5 miliar, dan Bolivia lebih dari USD1 miliar.
Lebih lanjut dinyatakan di beberapa negara “ada bukti yang jelas tentang ‘penyesalan pembeli’.”
Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa komitmen keuangan pembangunan internasional tahunan China adalah dua kali lipat dari Amerika Serikat dan negara-negara besar lainnya.
Sementara itu, pada bulan Juni, Amerika Serikat mengumumkan prakarsa G7 baru, Build Back Better World (B3W), yang bertujuan untuk menyediakan dukungan keuangan bagi negara-negara berkembang untuk membangun infrastruktur.
“B3W akan meningkatkan pilihan di pasar pembiayaan infrastruktur, yang dapat menyebabkan beberapa pembelotan BRI profil tinggi,” ujar Parks.
(Resa/ZeroHedge)