ISLAMTODAY — Facebook, Messenger, Instagram, dan WhatsApp semuanya down, tetapi CEO Mark Zuckerberg punya masalah yang lebih penting untuk diselesaikan terkait kebocoran data pribadi 1,5 miliar pengguna di platformnya ini bahkan data-data itu telah ditawarkan untuk dijual di web gelap.
ID pengguna, nama asli, alamat email, nomor telepon, dan lokasi adalah data pelanggan Facebook yang dijual, menurut laporan di media berita keamanan siber Privacy Affairs pada hari Senin.
Ini adalah kebocoran data Facebook terbesar dan paling signifikan sepanjang berdirinya Facebook, menurut publikasi resmi sekitar tiga kali lebih besar dari kebocoran pada bulan April lalu sekitar 533 juta nomor telepon pengguna.
Dahulu Facebook berdalih dengan mengatakan itu adalah “data lama” dan kerentanan keamanan yang menyebabkan kebocoran telah ditambal pada tahun 2019 namun pada kenyataannya data itu tetap saja bocor.
Pada saat Facebook, Messenger, WhatsApp, dan Instagram, yang semuanya dimiliki oleh raksasa media sosial Zuckerberg mengalami down besar kemungkinan ini menyangkut kebocoran data yang terjadi itu.
Sementara itu, selain kebocoran data yang pastinya berusaha di tutupi atau mungkin berdalih yang sama seperti yang sudah-sudah, tragedi down-nya seluruh platform Zuckerberg menorehkan kenyataan dan cerita lama yang kembali diangkat.
Data Facebook adalah Jenis Minyak Baru
“Facebook Down adalah demonstrasi skala planet tentang betapa pentingnya layanan perusahaan bagi kehidupan sehari-hari” tajuk utama New York Times, menunjukkan bahwa Facebook, WhatsApp, Instagram, dan Messenger sangat penting bagi ekonomi, politik, pendidikan, dan kesehatan.
Di seluruh dunia, rata-rata sekitar 2,8 miliar orang menggunakan setidaknya salah satu dari platform itu setiap harinya.
Facebook mengumpulkan miliaran informasi setiap hari dari seluruh dunia di pusat datanya, 13 di antaranya berlokasi di Amerika Serikat, 3 di Eropa, dan 1 di Singapura.
Jumlah data yang sangat besar ini, yang dipusatkan di AS, tidak hanya melayani tujuan ekonomi tetapi juga tujuan politik, serta memberikan peningkatan kekuatan kontrol kepada mereka yang mengelolanya.
Misalnya, Facebook menghapus lebih dari 20 juta postingan karena “melanggar aturan misinformasi Covid-19.”
Kekuatan kontrol ini sekarang sangat ditingkatkan oleh proyek Facebook yang sedang berjalan dengan baik: kabel bawah laut 2Africa Pearls, yang panjangnya lebih dari 45.000 km , menghubungkan 33 negara di Afrika, Timur Tengah, dan Eropa.
Menurut Facebook, ini akan “membawa Internet berkecepatan tinggi dan terjangkau” ke Afrika.
Namun, pernyataan itu tidak menjelaskan bagaimana internet akan digunakan oleh lebih dari 600 juta penduduk Afrika yang tidak memiliki listrik.
Untuk apa sebenarnya jaringan broadband ini digunakan di Afrika?
Jawaban dari pertanyaan diatas adalah terciptanya kemitraan yang telah dibentuk Facebook dengan Dewan Atlantik, sebuah paling berpengaruh di AS yang berbasis di Washington.
Melalui jaringan tersebut, Dewan Atlantik akan memastikan pengguna Facebook yang tepat dalam membantu proses pemilihan Afrika agar sesuai keinginan organisasi ini.
Serta membantu media dan politisi mengungkap berita palsu, mendidik warga dan masyarakat sipil.
Keandalan Dewan Atlantik, yang sangat aktif di Afrika, dapat disimpulkan dari daftar resmi pendonor yang mendanainya:
Pentagon dan NATO, Lockheed Martin dan industri perang lainnya (termasuk Leonardo Italia), ExxonMobil dan perusahaan multinasional lainnya, Bank Amerika dan kelompok keuangan lainnya, seperti Rockefeller dan Soros Foundations.
Disini kita melihat kenyataan bagaimana pengguna di Facebook, Instagram bahkan Whatsapp dapat dimanipulasi sedemikian rupa agar para kaum elit ini mencapai tujuannya dan melanggengkan kekuasaannya.
Tak heran data pengguna di platform-platform itu adalah jenis minyak baru yang bahkan lebih berharga di banding minyak itu sendiri. (Rasya)