Pada hari Senin, para pemimpin militer Sudan melancarkan kudeta terhadap pemerintahan sah di Sudan.
Kudeta tersebut karena rasa putus asa para tokoh militer Sudan yang tidak dapat mempertahankan hak istimewa ekonomi tentara dan takut akan turunnya akuntabilitas militer di hadapan pemerintahan sipil yang sejati.
Pemicu upaya kudeta militer ini karena telah mencapai batas waktu bagi militer Sudan untuk segera menyerahkan kepemimpinan kepada pemerintahan sipil.
Sebagaimana disepakati dalam Deklarasi Konstitusi yang ditandatangani oleh koalisi Forces of Freedom and Change (FFC) dan Dewan Militer Transisi (TMC) pada Agustus 2019.
Abdel-Fattah al-Burhan, mantan kepala Dewan Militer Transisi, telah membubarkan Dewan Kedaulatan yang dia pimpin bersama kabinet, serta memberhentikan gubernur regional dan menangkap politisi senior sipil, termasuk PM Abdalla Hamdok.
Hamdok dilaporkan ditahan setelah menolak untuk membacakan pernyataan yang diminta oleh Burhan.
Upaya Burhan Setelah Kudeta Militer
Burhan selaku ketua dewan militer transisi yang bertanggungjawab atas pemindahan pemerintahan militer ke sipil telah menangguhkan pasal 71, yang menegaskan bahwa pembentukan Dewan Kedaulatan akan menggantikan dewan militer transisi yang ia pimpin.
Akibat penangguhan pasal ini Burhan berupaya untuk mengambil alih secara penuh kekuasaan di Sudan dan tidak akan menyerahkannya kepada Dewan Kedaulatan dan masyarakat sipil Sudan.
Burhan juga akan berjuang untuk membangun sistem satu partai di negaranya agar dapat melanggengkan kekuasaannya saat ini.
Hal itu karena ia tidak memiliki gerakan ideologis besar yang mendukungnya di pemerintahan sehingga sistem satu partai akan menguntungkannya.
Tidak akan mudah untuk kembali ke Islamis untuk legitimasi ideologis, karena Burhan pada awalnya disukai oleh poros Mesir-Saudi-UEA justru karena kemampuannya untuk menjauhkan diri dari Gerakan Islam.
Al-Burhan mungkin berharap untuk kembali merapat ke Mesir guna belajar dari Abdel-Fattah Sisi untuk menghancurkan demokrasi di Sudan.
Sambil berharap untuk menjalankan sistem satu partai yang di isi oleh aparat keamanan dan militer yang memerintah secara de facto.
Namun Burhan tentunya harus mengerti bahwa sistem politik Sudan dan Mesir sangatlah berbeda.
Dimana sistem politik parlementer lebih mengakar di Sudan daripada di Mesir, dan sudah ada tiga pemberontakan sipil, pada tahun 1964, 1985 dan 2018-2019, yang berusaha untuk kembali ke pemerintahan parlementer yang demokratis.
Meskipun pada kenyataannya tiga sistem parlementer bersejarah Sudan masing-masing hanya berlangsung antara tiga dan lima tahun, namun tetep kudeta militer yang terus terjadi gagal memadamkan komitmen terhadap pluralisme politik di Sudan.
Komitmen pluralisme politik di Sudan sebenarnya agak memudar selama tahun-tahun persaingan politik pada beberapa tahun ke belakang tetapi ancaman kembalinya pemerintahan militer telah membuat rakyat Sudan kembali pada komitmen tersebut.
Terbukti saat ini Burhan tidak mampu menghentikan upaya untuk menantangnya karena mobilisasi rakyat Sudan saat ini jauh lebih berkelanjutan dan solid.
Bahkan meskipun Burhan telah melakukan kekerasan dan pembunuhan pada pengunjuk rasa rakyat Sudan masih terus menentang dan melakukan unjuk rasa. (Rasya)