ISLAMTODAY ID-Artikel ini ditulis oleh Mahmoud Barakat dengan judul Sudan’s ousted premier says reinstating his government key to resolving crisis.
Duta Besar negara Troika mengunjungi Abdalla Hamdok, yang masih dalam tahanan rumah.
Perdana Menteri Sudan yang digulingkan Abdalla Hamdok mengatakan Senin (1/11) bahwa mengembalikan pemerintahannya yang dibubarkan bulan lalu dalam kudeta militer, dapat membantu membuka jalan untuk menyelesaikan krisis negaranya.
Menurut pernyataan Kementerian Informasi, Hamdok, yang masih dalam tahanan rumah di kediamannya di ibu kota Khartoum, bertemu dengan Utusan Khusus untuk Sudan dan Sudan Selatan dari Inggris, Norwegia, dan AS, yang juga dikenal sebagai Troika.
Selama pertemuan itu, dia bersikeras pada legitimasi pemerintahannya dan lembaga-lembaga transisi, menambahkan “pembebasan menteri Kabinet dan pemulihan penuh pemerintah dapat membuka jalan menuju solusi,” ujar kementerian itu, seperti dilansir dari AA, Selasa (2/11).
Hamdok menegaskan bahwa dia tidak akan menjadi pihak dalam pengaturan apa pun sesuai dengan “keputusan kudeta yang dikeluarkan pada 25 Oktober,” menekankan bahwa “situasi harus dikembalikan seperti semula pada 24 Oktober.”
Dia berterima kasih kepada negara-negara Troika atas dukungan mereka terhadap rakyat Sudan dan pengakuan mereka atas legitimasi pemerintah transisi.
Para duta besar mengatakan kepada Hamdok bahwa Perwakilan Khusus AS untuk Tanduk Afrika, Jeffrey Feltman, akan tiba di Khartoum pada 2 November untuk melanjutkan upaya menyelesaikan krisis.
Hamdok dan sejumlah menteri dalam pemerintahan sipilnya ditahan oleh militer Sudan pada 25 Oktober di tengah meningkatnya ketegangan antara komponen militer dan sipil dari otoritas transisi.
Tak lama setelah menahan Hamdok, kepala dewan militer yang berkuasa di Sudan, Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, menyatakan keadaan darurat dan membubarkan Dewan Kedaulatan transisi dan pemerintah, memicu protes massal di seluruh negeri.
Sebelum pengambilalihan militer, Sudan dikelola oleh dewan berdaulat pejabat militer dan sipil yang mengawasi periode transisi hingga pemilihan yang dijadwalkan pada 2023.
Hal tersebut dilakukan sebagai bagian dari pakta pembagian kekuasaan yang genting antara militer dan koalisi Pasukan untuk Kebebasan dan Perubahan.
(Resa/AA)