ISLAMTODAY ID—Biden setelah menjabat memiliki berbagai tantangan dan kendala yang dihadapi oleh Amerika Serikat (AS). Tantangan dari kekuatan besar China makin mendorong AS untuk mengambil kebijakan berbeda disetiap kawasannya.
Masalah di kawasan indo-pasifik menjadi tantangan berat yang harus dihadapi AS dan juga sekutu baratnya, China kian menancapkan kekuasaan di kawasan ini, maka tak heran kawasan ini menjadi medan laga bagi kedua belah pihak.
Berikut adalah kawasan yang menjadi titik panas antara AS dan China di Indo-Pasifik.
Australia Kian Terjepit
Apakah Canberra dan Beijing akan terus “berperang”? Salah satu perubahan geopolitik terbesar baru-baru ini di Indo-Pasifik adalah perpecahan yang melebar antara Australia penguasa Oseania dan juga penguasa asia tengah China.
Setelah lebih dari satu dekade ketergantungan perdagangan pada Beijing – mengirimkan sepertiga dari ekspornya ke negara itu saja – Australia tampaknya telah dengan kuat merangkul AS sebagai pilar kebijakan luar negerinya.
Ketegangan antar kedua negara dimulai secara bertahap, pertama pada 2018 dengan Canberra melarang perusahaan telekomunikasi China (baca ZTE & Huawei) untuk menjual teknologinya di Australia, dan perseteruan kian meningkat pada 2020 ketika pemerintah Australia menyarankan agar penyelidik dikirim ke Wuhan untuk menyelidiki asal COVID-19.
China menanggapi dengan memberikan tarif agresif bagi ekspor produk Australia, dan sekarang telah mengecam penangguhan tanpa batas atas dialog ekonomi utama dengan Australia.
Ini juga adalah hukuman bagi Canberra setelah menggunakan undang-undang yang baru-baru ini disahkan untuk membatalkan kesepakatan infrastruktur Belt and Road Initiative dengan China atas dasar keamanan nasional.
Setelah itu konflik antara Australia dan China kian mengkhawatirkan tatkala Australia bersama dengan AS dan Inggris membentuk Aliansi AUKUS yang membuat kawasan Indo-Pasifik lebih tegang.
Konflik ini makin mempertajam konflik antara AS dan sekutunya dengan China, meskipun pada kenyataannya saat ini Australia-lah yang paling merugi atas konflik yang terjadi, hal itu karena pendapatan dari segi ekspornya sangat menurun drastis.
Balochistan yang Menawan
Kawasan Balochistan, berbatasan langsung dengan Iran dan Afghanistan, provinsi yang sarat pemberontakan namun secara geostrategis penting di barat daya Pakistan ini adalah titik awal Inisiatif Sabuk dan Jalan China.
Balochistan memiliki proyek utama BRI senilai $65 miliar, yang menciptakan koridor Ekonomi China-Pakistan.
Tapi masih ada lagi kelebihan dari kawasan Balochistan yang tandus dan bergunung-gunung ini.
Menurut Departemen Pertahanan AS, Beijing sedang mempertimbangkan untuk menambahkan kehadiran angkatan laut di sekitar pelabuhan Gwadar yang sedang dibangun, yang berpotensi memungkinkannya untuk merapatkan kapal angkatan laut Tentara Pembebasan Rakyat di Teluk Persia.
Pakistan dan mitra BRI lainnya telah beralih ke China karena pilihan pendanaan alternatif yang langka, tetapi Islamabad masih membuat suara ramah dengan AS.
Akankah pemerintahan Biden dapat melawan BRI dengan penawarannya sendiri atau membiarkan China makin menancapkan pengaruhnya di wilayah tersebut?
Panas-Dinginnya Laut China Timur
Ketika Jepang mengumumkan klaim atas tiga Kepulauan Senkaku (yang juga diklaim Beijing dan disebut Diaoyu) pada 2012, China merespons dengan hampir semua yang dimilikinya, termasuk menggunakan latihan tempur bersama demi memberi efek kejut untuk jepang.
Maju cepat ke 2021, dan konflik telah meningkat di luar latihan:
Januari ditandai dengan pengesahan undang-undang Penjaga Pantai baru China (yang memungkinkan pasukan untuk menembak kapal asing), dan pada bulan April, kapal induknya berlayar melalui Selat Miyako Jepang.
Ketika AS menggarisbawahi pakta pertahanannya dengan Tokyo yang semakin khawatir, Laut China Timur memanas sebagai titik pertikaian regional.
Armada Pertama AS Guna Tangkal China
Rencana pada era Trump untuk mengaktifkan kembali Armada 1 yang sebelumnya dinonaktifkan, nampaknya akan mendapat dukungan Biden untuk segera di aktifkan.
Armada ini adalah untuk memberi Angkatan Laut AS lebih banyak kehadiran ekspedisi di Samudra Hindia yang semakin panas untuk di perebutkan.
Beberapa pangkalan kemungkinan akan dibangun di Changi Singapura dan Perth Australia, yang akan segera di restrukturisasi dari keberadaannya pada tahun 1973, meski masalah keamanan berbeda hari ini dibanding masa perang dingin.
Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat China (PLAN) sedang berkembang. Menurut Pentagon, bahkan menyalip Angkatan Laut AS sebagai yang terbesar di dunia pada tahun 2020, China juga telah menugaskan kapal induk yang diproduksi sendiri, sebagai bukti kekuatan angkatan lautnya.
Departemen Pertahanan AS memperingatkan bahwa “RRC sedang berusaha untuk membangun logistik luar negeri yang lebih kuat dan infrastruktur pangkalan.” Jadi, dari Myanmar ke Pakistan, dari Thailand ke Sri Lanka, China punya ambisi angkatan laut.
Melihat situasi hari ini bukan tidak mungkin Armada pertama AS akan sering berseteru dengan Angkatan laut China khususnya di kawasan samudra Hindia dan Indo-Pasifik
Pentingnya Guam bagi AS
Konsentrasi militer Amerika di wilayah kecil yang dikelola AS di tengah Pasifik ini malah menunjukan pulau ini sebagai target yang rentan serangan.
Itulah sebabnya Departemen Pertahanan AS ingin mengubah banyak hal, hingga ingin mengakhiri kehadiran senjata pembom strategis permanen di pulau itu pada tahun 2020 untuk mengikuti rekomendasi Strategi Pertahanan Nasional.
Rencan ini bertujuan agar pasukan AS “dapat diprediksi secara strategis, tetapi secara operasional tidak dapat diprediksi”meskipun akan banyak perubahan yang terjadi di pulau itu dan juga sangat rawan serangan Guam tetap menjadi bagian penting dari postur strategis militer AS di Indo-Pasifik.
Sebagai benteng pertahanan AS pulau Guam akan menjadi ujung tombak guna memata-matai perilaku China di Indo-Pasifik dan juga tetap mempertahankan pengaruh AS dikawasan tersebut
Pelabuhan Laut-Darat Strategis China
Ahli strategi China telah lama khawatir tentang cengkeraman Amerika atas chokepoints maritim seperti Selat Malaka.
Jadi, menurut teorinya, Inisiatif Sabuk dan Jalan China dibangun dengan menghindari potensi penolakan akses melalui jaringan pelabuhan yang memberikan rute darat, kehadiran maritim, atau bahkan jaringan pipa ke jaringan energi dan perdagangan di kawasan tersebut.
Teori itu tampaknya berlaku sejauh ini, dari Kuantan di Malaysia hingga Kyaukpyu di Myanmar, ke Hambantota di Sri Lanka, hingga Gwadar di Pakistan.
Tapi bukan hanya bisnis pelabuhan komersial yang dikerjakan oleh China.
Selain pangkalan militer di Djibouti, juga memiliki bisnis sampingan dengan melahirkan kota-kota baru di sekitar proyek pelabuhannya: taman bisnis, kawasan industri, gedung-gedung tinggi yang mewah, bahkan bandara.
Biden dan sekutunya juga telah lama memperhatikan dan melalui Bank Dunia memperingatkan tentang meningkatnya utang dan ketidakstabilan yang menyertai beberapa proyek ini, yang dapat menciptakan ketergantungan yang lebih besar pada China.
Ketakutan AS sangatlah nyata hal ini karena hampir semua negara dengan wilayah yang sangat strategis di Indo-Pasifik telah memiliki perjanjian kerjasama strategis hingga bahkan ketergantungan atas dana-dana melimpah dari China.
Tak heran China akan sangat mudah untuk mendapatkan keuntungan dari proyek kerjasama ini dan akhirnya makin menyingkirkan peran AS pada kawasan ini. (Rasya)