ISLAMTODAY ID-Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengutuk kehadiran pasukan dan perangkat keras militer Moskow di semenanjung Krimea yang disengketakan, dengan salah satu utusan utama Rusia mengecam inisiatif yang didukung Kiev sebagai dipolitisir.
Pada hari Kamis (9/12), 62 negara memberikan suara mendukung mosi tersebut, yang menuduh Moskow membangun kekuatannya di wilayah tersebut dan melanggar hak-hak warganya.
Namun, mayoritas negara bagian tidak memberikan suara mendukung, dengan 55 abstain dari memberikan suara mereka.
Selanjutnya 22 negara, termasuk Rusia, dan bekas republik Soviet, Armenia dan Belarusia, serta China, Kuba, Iran, dan Venezuela, menolak proposal tersebut.
Mengomentari setelah putusan tersebut, wakil tetap pertama Rusia untuk PBB, Dmitry Polyanskiy, mengklaim bahwa “untuk tahun keempat berturut-turut, Ukraina, yang didukung oleh sekelompok negara terkenal, telah memaksa Majelis Umum untuk mempertimbangkan kebijakan draf dokumen yang sangat politis.”
Polyanskiy mengatakan bahwa resolusi tersebut “tidak ada hubungannya dengan kenyataan dan tidak melakukan apa pun untuk menyelesaikan konflik internal di negara itu”, dan sebenarnya “memainkan fantasi menyakitkan yang menyebar… tentang situasi di Krimea.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Ukraina Dmitry Kuleba memuji hasilnya. Melalui Twitter, diplomat top Kiev mengatakan bahwa resolusi tersebut “mencakup dukungan penting untuk Platform Krimea.”
Menurutnya, pihaknya meminta Rusia untuk menghentikan dugaan pasokan senjata dan personel ke semenanjung dan menghentikan pelanggaran kebebasan navigasi di Laut Hitam dan Laut Azov.
Kuleba juga mengatakan bahwa gagasan “mengirim sinyal pencegahan” di tengah penumpukan pasukan Rusia di garis demarkasi Ukraina, yang berulang kali dibantah Moskow.
Pada tahun 2020, militer AS melakukan uji peluncuran roket sebagai bagian dari latihan NATO, menembak dari Rumania ke Laut Hitam yang vital secara strategis.
Wakil kepala the Public Chamber of Crimea, Alexander Formanchuk, memperingatkan wartawan bahwa angkatan bersenjata Rusia telah menempatkan perangkat keras canggih di semenanjung yang akan mampu melawan “serangan rudal kejutan.”
“Provokasi terhadap Krimea menjadi lebih sering. Sayangnya, kita menyaksikan semakin memburuknya hubungan internasional dan situasi internasional. Dan topik Krimea adalah alasan yang tepat untuk meningkatkan provokasi semacam itu,” ujarnya, seperti dilansir dari RT, Jumat (10/12)
Kiev menganggap Krimea sebagai bagian dari wilayahnya meskipun semenanjung memilih untuk menjadi bagian dari Rusia pada tahun 2014.
Referendum dilakukan hanya sebulan setelah peristiwa Maidan, ketika protes jalanan yang diwarnai kekerasan menggulingkan pemerintah Ukraina yang terpilih secara demokratis.
Ukraina, serta sebagian besar dunia, tidak mengakui legitimasi suara itu.
(Resa/RT)