ISLAMTODAY ID – Perdana menteri yang didukung PBB memperingatkan agar tidak menyeret warga Libya “ke dalam perang baru”, dengan mengatakan keputusan parlemen yang berbasis di timur menunjuk perdana menteri baru adalah upaya untuk mengambil ibu kota Tripoli dengan paksa.
Perdana Menteri Libya yang didukung PBB mengatakan bahwa pemilihan parlemen yang berbasis di timur tentang pemerintahan baru dan perdana menteri adalah upaya lain untuk memasuki Tripoli dengan paksa.
“Saya menolak segala upaya untuk menyeret orang Libya ke dalam perang baru,” ujar Abdul Hamid Dbeibah pada hari Jumat (11/2) dalam sebuah wawancara dengan penyiar Libya Al Ahrar, seperti dilansir dari TRTWorld, Jumat (11/2).
Dbeibah mengatakan dia mempertimbangkan peta jalan dan mungkin mengumumkan inisiatif oleh pemerintahnya untuk menyelesaikan krisis politik di Libya.
Selain itu, dalam upaya menyukseskan inisiatifnya, dia bersedia mundur dari pencalonan presiden.
Dbeibah mengatakan ketua parlemen telah memintanya untuk menarik pencalonannya sebagai presiden dengan imbalan kelanjutan jabatannya untuk periode yang lebih lama.
PBB mengatakan masih mengakui Dbeibah sebagai perdana menteri Libya.
Dbeibah juga mengatakan kepada Al Ahrar bahwa upaya pembunuhan terhadapnya sehari sebelumnya “bukanlah operasi yang direncanakan” tetapi dua tentara bayaran disewa untuk membunuhnya.
Dbeibah lolos tanpa cedera pada Kamis (10/2) pagi dari upaya pembunuhan ketika orang tak dikenal menembak mobilnya di ibu kota Tripoli.
Beberapa tembakan menghantam mobilnya dan para penyerang berhasil melarikan diri dari tempat kejadian menurut laporan.
Administrasi Paralel
Parlemen Libya yang berbasis di timur, yang bersekutu dengan panglima perang Khalifa Haftar, menunjuk mantan menteri dalam negeri Fathi Bashaga untuk menggantikan Dbeibah sebagai kepala pemerintahan sementara yang baru.
Langkah ini menjadi sebuah perkembangan yang melawan upaya PBB untuk mendamaikan negara yang terpecah dan yang kemungkinan akan menghasilkan dua paralel administrasi.
Parlemen yang berbasis di Tobruk mengatakan keputusannya mengikuti kegagalan perdana menteri yang berkuasa untuk mengadakan pemilihan nasional pada bulan Desember, sesuatu yang disepakati di bawah proses perdamaian yang dimediasi PBB.
Dbeibah menolak keputusan untuk menggantikannya dan mengatakan Pemerintah Persatuan Nasional (atau GNU) yang diakui secara internasional hanya akan menyerahkan kekuasaan setelah pemilihan nasional.
(Resa/ TRTWorld/Al Ahrar )