ISLAMTODAY ID-Pihak berwenang Irak meluncurkan penyelidikan pada 17 Oktober atas dugaan “pencurian” 2,5 miliar dolar dari rekening bank komisi pajak Irak.
Hilangnya $2,5 miliar atau Rp 38 T dari dana bank Otoritas Pajak Umum Irak dianggap sebagai salah satu skandal korupsi terbesar dalam sejarah baru-baru ini.
Kementerian Keuangan mengkonfirmasi bahwa sejumlah besar uang disimpan dalam pengawasan Bank Rafidain, bank terbesar di Irak.
Kasus korupsi baru ini menimbulkan kontroversi besar di saat negara sedang mengalami krisis ekonomi yang parah, sementara negara tidak mampu menyediakan listrik untuk warganya atau membayar gaji pegawai negeri.
Rincian yang bocor dari Otoritas Pajak Umum mengungkapkan bahwa $2,5 miliar telah ditarik antara September 2021 dan Agustus 2022.
Transaksi tersebut melibatkan lima perusahaan yang mencairkan cek.
Alia Nasif, anggota Komite Integritas Irak, mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa “jumlah yang dicuri ditarik secara tunai oleh direktur eksekutif lima perusahaan”, yang dia gambarkan sebagai “hantu”.
Dia juga menuduh komisi pajak terlibat langsung dalam skema tersebut.
“Tidak mungkin untuk menarik uang dalam jumlah besar tanpa sepengetahuan dari badan atau entitas perbankan”, ujar Nasif, seperti dilansir dari The Cradle, Senin (17/10).
Kasus ini sedang diselidiki dan telah dipindahkan ke pengadilan, yang telah memanggil beberapa pejabat senior Kementerian Keuangan “mengenai celah yang menyebabkan pelanggaran besar dan penyalahgunaan uang publik yang keterlaluan,” menurut sebuah pernyataan komite integritas dari Irak.
Selain itu, penjabat Menteri Keuangan Ihsan Abdul Jabbar dicopot dari posisinya oleh parlemen Irak atas klaim salah urus.
Menyusul kebuntuan politik yang berlangsung lebih dari satu tahun, parlemen Irak menunjuk politisi Kurdi Abdullatif Rashid sebagai Presiden Republik Irak pada 13 Oktober dalam upaya untuk memulai pembentukan pemerintahan baru dan mengakhiri perpecahan politik dan kekacauan jalanan yang telah memakan banyak korban.
Setelah pemilihannya, Rashid segera menunjuk calon Kerangka Koordinasi (CF), Mohammed Shia al-Sudani, sebagai perdana menteri baru negara itu.
Namun, pada 15 Oktober, pejabat Sadrist di Irak mengumumkan bahwa mereka berniat memboikot upaya Perdana Menteri baru Mohammed al-Sudani untuk membentuk kabinet pemerintah.
Salih Mohammed al-Iraqi, seorang tokoh terkemuka dalam gerakan Sadrist, mengatakan bahwa blok tersebut menyatakan “penolakan kategoris, jelas, dan eksplisit” mereka terhadap pembentukan kabinet oleh Sudani.
Gerakan tersebut, yang dipimpin oleh Muqtada al-Sadr, memenangkan 73 dari 329 kursi pada pemilihan awal Oktober lalu, tetapi semuanya mengundurkan diri setelah gagal membentuk pemerintahan baru.
Di sisi lain, kelompok ad-hoc partai-partai Syiah yang bersatu di bawah payung Coordination Framework (CF) telah memimpin pembicaraan untuk membentuk pemerintahan sejak Sadr pensiun kesembilan dari kehidupan politik.
Kurangnya pemerintahan resmi selama setahun terakhir telah menghalangi kemungkinan para pejabat untuk melaksanakan keputusan jangka panjang yang tepat untuk menstabilkan berbagai sektor negara, terutama ekonomi.
(Resa/The Cradle)