ISLAMTODAY ID-Artikel ini ditulis oleh The Jamestown Foundation melalui OilPrice.com, dengan judul NATO On Edge As Russia Ramps Up Military Activity In The Arctic.
Saat ini, Rusia meningkatkan aktivitas komersial dan militer di Kutub Utara.
Pemerintah Rusia telah memperhatikan perubahan lingkungan yang terus membuka garis pantai Arktik negara-negara di belahan bumi utara untuk meningkatkan lalu lintas maritim.
Baru-baru ini, Kremlin umumkan niatnya untuk perluas transportasi kargo maritim di sepanjang Northern Sea Route (Rute Laut Utara (NSR)) pada tahun 2023.
Dilansir dari ZeroHedge, Senin (19/12), dalam forum “Transport of Russia” bulan lalu, Perdana Menteri Rusia Mikhail Mishustin umumkan bahwa sejak awal tahun ini, 25 juta ton kargo melintasi NSR.
Lebih lanjut, Mishustin menyebut pengembangan NSR sebagai salah satu “prioritas utama” pemerintah Rusia.
Langkah tersebut memproyeksikan kebutuhan untuk mencapai target transportasi 80 juta ton kargo pada tahun 2024 (Vedomosti, 16 November).
Untuk diketahui, NSR membentang sepanjang 3.479 mil (5.600 kilometer) dari Murmansk ke Vladivostok di sepanjang garis pantai Arktik dan Pasifik Rusia.
Namun, kondisi yang parah seringkali mempersulit penggunaan rute; navigasi di sektor timur NSR dari Taymyr ke Selat Bering tidak mungkin dilakukan selama musim dingin tanpa kapal pemecah es.
Hal ini karena ketebalan es di sana bisa mencapai 9,8 kaki (3 meter).
Adapun lalu lintas kargo di NSR pada tahun 2021, sebelum Presiden Rusia Vladimir Putin meluncurkan perang habis-habisan melawan Ukraina, berjumlah 34,9 juta ton (Atomic-energy.ru, 13 Januari).
Keuntungan komersial strategis utama dari NSR untuk pedagang Rusia adalah bahwa NSR sepenuhnya melewati perairan internal Rusia, yang bebas dari campur tangan asing.
Dibandingkan outlet Rusia lainnya ke lautan dunia, seperti selat Turki, di mana lalu lintas komersial terdampak akibat konflik di sekitar Laut Hitam.
Pontensi Rute Laut Utara Bagi Rusia
Akhirnya Rusia menyadari manfaat potensial dari pengembangan rute tersebut meskipun ada kesulitan.
Pada Agustus 2022, pemerintah Rusia menyetujui dokumen strategis untuk mengembangkan NSR hingga tahun 2035, dengan perkiraan biaya hampir $28,75 miliar, atau 1,8 triliun rubel (RIA Novosti, 4 Agustus).
Menariknya, dokumen tersebut tidak menyebutkan dari mana dana untuk pengembangan ini akan berasal.
Pada tanggal 18 November, terjadi pertemuan komisi antardepartemen Dewan Keamanan Rusia tentang bagaimana memastikan kepentingan nasional Rusia di Kutub Utara.
Dalam pertemuan tersebut, Wakil Ketua Dmitry Medvedev peringatkan bahwa Rusia akan menghadapi kekurangan kapal pemecah es nuklir pada tahun 2030 karena umur armadanya (Vedomosti, November 18).
Medvedev mencatat bahwa setengah dari enam kapal pemecah es yang dioperasikan oleh anak perusahaan Rosatom milik negara, Federal State Unitary Enterprise (FSUE) Atomflot, yang mengawasi NSR sejak 2018, dibangun menggunakan teknologi yang sudah ketinggalan zaman.
Lebih lanjut, Medvedev menambahkan bahwa masa kerja mereka telah diperpanjang berulang kali, sebuah praktik yang tidak lagi dapat dilakukan pada tahun 2026 atau 2027.
Selama musim navigasi NSR musim dingin-musim semi pada tahun 2021 dan 2022, lebih dari 20 kapal menjadi es dan perlu diselamatkan oleh pemecah es (Portnews.ru, 1 Desember).
Menurut Penjabat Direktur Jenderal FSUE Atomflot Leonid Irlitsa, setidaknya diperlukan 13 kapal pemecah es untuk memastikan bahwa NSR tetap dapat dilayari sepanjang tahun di Timur Jauh (Seanews.ru, 18 Juli).
Penggunaan Rute Timur Laut (NSR)
Menariknya, penggunaan NSR tidak akan dibatasi hanya untuk pengiriman komersial dan angkatan laut Rusia.
Pada 30 November, Dewan Federasi Rusia menyetujui amandemen undang-undang yang mengizinkan kapal asing menggunakan NSR.
Amandemen mencatat bahwa kapal komersial dan angkatan laut asing perlu meminta izin 90 hari sebelum tujuan penggunaan rute tersebut (Portnews.ru, 30 November).
Namun, serangan militer Putin yang keliru terhadap Ukraina telah memperumit perdagangan internasional untuk perusahaan dan pialang logistik multinasional.
Hal ini karena segala sesuatu yang melewati Rusia sekarang berpotensi dikenakan sanksi sekunder.
Misalnya, Perusahaan China yang sebelumnya telah meningkatkan penggunaan NSR, semakin khawatir tentang potensi kerusakan ekonomi dari pukulan balik jaminan sanksi sekunder.
Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, pada awal Juli 2022, Perusahaan Pengiriman COSCO China belum mengajukan permintaan apa pun untuk navigasi di perairan NSR (Korabel.ru, 19 September).
Untuk diketahui, COSCO adalah perusahaan kapal nomor satu di dunia. Perusahaan ini mengoperasikan 1.413 kapal dengan kapasitas 113,47 juta ton bobot mati.
Langkah waspada perusahan China tersebut membuat NSR kehilangan pendapatan yang signifikan saat ini dan di masa mendatang (Coscoshipping.com, diakses 13 Desember).
Kekhawatiran NATO
Sejak 2005, Rusia telah membuka kembali puluhan pangkalan militer era Soviet di Kutub Utara dan memodernisasi angkatan lautnya sambil mengembangkan rudal hipersonik baru.
Tidak mengherankan, Pakta Pertahanan Atlantik Utara menjadi semakin khawatir dengan percepatan aktivitas Arktik Rusia.
Namun, operasi khusus Rusia di Ukraina berdampak pada situasi geopolitik dan militer di Kutub Utara berubah.
Hal ini karena begitu Swedia dan Finlandia bergabung dengan NATO, tujuh dari delapan anggota Dewan Arktik akan menjadi anggota NATO (yang lainnya adalah Denmark, Norwegia, Islandia, Kanada, dan AS).
Memperluas perhatiannya di luar konflik Rusia-Ukraina saat ini, NATO mencatat dalam konteks ini bahwa, pada 31 Juli, Putin menandatangani dekrit “Atas Persetujuan Doktrin Angkatan Laut Federasi Rusia”
Dekrit tersebut berisi bahwa strategi angkatan laut baru yang berjanji untuk melindungi perairan Arktik “dengan segala cara” (Kremlin.ru, 31 Juli).
Memperkuat kekhawatiran NATO, pada September 2022, kapal perang China dan Rusia melakukan latihan bersama di Laut Bering (Federalnews24.ru, 27 September).
Konvergensi semua elemen ini menjadikan Kutub Utara sebagai front baru dalam pergolakan geopolitik besar yang sedang berlangsung di Eurasia.
Saat Putin menyia-nyiakan personel militer dan logistik negaranya untuk terus menyiksa Ukraina, konflik tersebut juga menghabiskan persediaan senjata NATO.
Hal tersebut menjadi pemikiran serius bagi keduanya untuk mempertimbangkan kemungkinan front operasional baru di lingkungan Arktik yang tidak ramah.
Pada akhirnya, NATO sebaiknya membangun revitalisasinya yang berasal dari perang Rusia melawan Ukraina dan mengembangkan pendekatan yang kuat dan lebih terpadu untuk melawan aktivitas Rusia di Kutub Utara.
(Resa/ZeroHedge)