ISLAMTODAY ID-Indonesia dan Malaysia telah memutuskan untuk bekerja sama mempertahankan garis hidup mereka – ekspor minyak sawit – yang telah menjadi target baru Uni Eropa.
Pada tanggal 6 Desember, Uni Eropa menandatangani kesepakatan untuk memerangi deforestasi global.
Mereka menyebut produksi minyak sawit sebagai salah satu penyebab deforestasi skala besar.
Kedua negara Muslim tersebut memenuhi lebih dari 85 persen permintaan minyak sawit global.
Lebih lanjut, jutaan petani – sebagian besar pemilik lahan kecil – bergantung pada perkebunan kelapa sawit untuk menafkahi keluarga mereka.
“Tetangga Asia Tenggara dan sekutu dekat akan bekerja untuk mempromosikan komoditas melalui Dewan Negara Penghasil Minyak Kelapa Sawit,” ungkap Presiden Indonesia Joko Widodo, Senin (9/1/2023), seperti dilansir dari TRTWorld, Senin (9/1/2023).
Komentar Jokowi muncul setelah pertemuan dengan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim di Indonesia
Kunjungan tersebut merupakan dalam rangka perjalanan luar negeri pertaman Anwar Ibrahim sejak menjabat pada November.
Apa Langkah-Langkah UE?
Ketika peraturan tersebut diadopsi menjadi undang-undang, maka akan mewajibkan 27 negara anggota UE untuk memotong impor komoditas yang mereka yakini bertanggung jawab atas perusakan kawasan hutan, terutama hutan hujan.
Rencananya adalah menghentikan pemasok menjual beberapa jenis komoditi di di pasar UE.
Komoditas tersebut meliputi minyak kelapa sawit, sapi, kedelai, kopi, kakao, kayu, karet dan produk olahannya seperti cokelat, kulit dan furnitur.
Ini adalah bagian dari upaya UE yang lebih luas untuk mengurangi jejak karbon blok tersebut.
Argumennya adalah bahwa komoditas ini semakin banyak ditanam di lahan pertanian yang telah merambah kawasan hutan.
Apakah UU Larang Semua Impor?
Tidak. Sesuai peraturan, perusahaan yang terlibat dalam perdagangan komoditas ini dan produk terkait harus memastikan bahwa mereka tidak ditanam atau diproduksi di lahan yang digunduli setelah Desember 2020.
Ini berarti seorang petani Malaysia yang telah memanen minyak sawit di wilayah yang gundul sebelum tanggal batas waktu tidak perlu khawatir tentang penjualan produknya.
“Namun kemudian ada teknis pembuktian bahwa komoditas tersebut tidak melanggar peraturan. Bagian ini rumit dan kemungkinan akan menambah beban biaya bagi pemilik lahan kecil,” ungkap Dewan Kelapa Sawit Malaysia.
Perusahaan yang mengimpor komoditas harus melakukan pemantauan ketat terhadap sumber produk mereka.
Misalnya, pemasok harus mengumpulkan koordinat geografis yang tepat dari tempat produksi komoditas.
Rencana tersebut akan mulai berlaku 18 bulan setelah undang-undang tersebut diadopsi sekitar tahun ini.
Pihak berwenang Malaysia dan Indonesia mengatakan bahwa mereka telah memiliki peraturan dan regulasi yang ketat untuk melindungi hutan mereka.
Mengapa Produsen Minyak Sawit sangat marah?
Selama beberapa tahun ini, para pemimpin UE telah mengarahkan pandangan mereka untuk membatasi impor minyak kelapa sawit, yang sebagian besar digunakan sebagai biofuel.
Ketika proposal tersebut pertama kali muncul pada tahun 2018, Malaysia mengkritiknya dengan keras.
Malaysia menyebut langkah tersebut sebagai upaya untuk “memotong apartheid”. Kegelisahan Kuala Lumpur bukan tanpa alasan.
Minyak lobak, yang diproduksi di Eropa, memiliki andil tertinggi dalam produksi biofuel.
Tapi minyak lobak telah dibebaskan dari peraturan ketat yang menargetkan minyak kelapa sawit, menimbulkan kekhawatiran tentang diskriminasi UE.
Pada bagiannya, UE mengatakan telah mendasarkan keputusannya pada dampak komoditas ini terhadap deforestasi.
“Uni Eropa telah mengklasifikasikan bahan baku minyak sawit memiliki risiko tinggi terhadap perubahan penggunaan lahan tidak langsung (ILUC), dibandingkan dengan minyak nabati lainnya seperti rapeseed dan bunga matahari yang dianggap sebagai bahan baku berisiko rendah,” ungkap studi terbaru tentang dampak larangan impor UE.
Uni Eropa berencana untuk secara bertahap menghentikan konsumsi minyak sawit sebagai biofuel dan sepenuhnya melarangnya pada tahun 2030.
Komisi Eropa, badan eksekutif UE, mengatakan telah melakukan survei terperinci, mengumpulkan 1,2 juta tanggapan dari publik sebelum memperkenalkan peraturan tentang produk bebas deforestasi.
Konsultasi publik ini adalah yang terpopuler kedua dalam sejarah UE.
(Resa/TRTWorld)