ITD NEWS —Tujuan utama pemerintah Israel dan Amerika Serikat (AS) adalah mendorong normalisasi hubungan antara Israel dan Arab Saudi, dan bagian dari strategi untuk mewujudkannya adalah melawan Iran.
Namun tujuan Israel dan AS ini terbukti telah gagal dengan pemulihan hubungan Arab Saudi-Iran yang ditengahi oleh China.
Setelah lima putaran pembicaraan selama rentang waktu dua tahun, Iran dan Arab Saudi tidak dapat mencapai kompromi untuk pembentukan kembali hubungan diplomatik, namun peran China nyatanya dapat mempersatukan kedua negara ini.
Berdasarkan persaingan panjang antara Teheran dan Riyadh, kebijakan AS dan Israel terhadap Arab Saudi didasarkan pada memerangi musuh bersama yang dimiliki oleh semua pihak.
Meskipun pemerintah AS sendiri belum bereaksi dengan permusuhan terbuka terhadap perubahan mendadak dalam dinamika regional, Israel secara terbuka menafsirkan ini sebagai perkembangan negatif.
Di seluruh spektrum politik Israel, baik dari pemerintah koalisi maupun oposisi, terjadi saling tuding, dalam upaya untuk menyalahkan kegagalan Israel yang dianggap mencegah normalisasi Saudi-Iran.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah berusaha untuk mengalihkan kesalahan ke pemerintahan sebelumnya, sebuah gagasan yang dibantah oleh mantan kepala Mossad Israel Efraim Halevy sebagai “secara faktual salah.”
Di sisi lain, mantan PM Israel Naftali Bennett menyebut perjanjian itu sebagai “perkembangan yang serius dan berbahaya bagi Israel.”
Sementara itu Yair Lapid, mantan PM lainnya dan pemimpin oposisi saat ini, juga mengatakan itu adalah “kegagalan kebijakan luar negeri pemerintah Israel yang sangat berbahaya.”
Alasan Arab Saudi Menjauhi Israel
Krisis politik internal di Tel Aviv memainkan peran penting dalam keputusan Saudi untuk mendorong normalisasi hubungan dengan Iran, karena ketidakstabilan di dalam Israel.
Potensi eskalasi konflik Israel dengan rakyat Palestina, dapat sangat menghambat sebuah terobosan diplomasi formal Muhammad bin Salman (MBS).
Selain itu Iran, melalui hubungannya dengan partai politik regional, pemerintah, dan pasukan milisi lokal di kawasan Timur Tengah, memiliki kemampuan untuk menguntungkan Arab Saudi menyangkut konflik di Yaman.
Iran, sebagai sekutu dekat Ansarallah organisasi yang dipimpin Houthi, dapat membantu membuat gencatan senjata jangka panjang atau bahkan perdamaian abadi, yang tidak bisa ditawarkan oleh AS.
Mengakhiri perang ini akan menjadi kepentingan keamanan Arab Saudi, yang pasti akan menderita jika perang berlanjut, terutama jika rudal dan drone mulai menyerang infrastruktur vital mereka lagi.
Sama seperti Beijing yang terbukti mampu mendorong normalisasi Saudi-Iran, Teheran dapat menawarkan kemampuan untuk menegosiasikan solusi damai di Yaman dengan baik. Namun, masih terlalu dini untuk mengatakan apakah perkembangan seperti itu akan terjadi.
Apa yang tidak diragukan lagi dilakukan oleh kesepakatan itu adalah membuktikan kelemahan kemampuan regional Israel, bersamaan dengan memudarnya pengaruh AS.
Selain itu mengenai penyelesaian konflik Suriah dan Lebanon dapat meningkat jika perjanjian yang ditengahi China memberikan pendekatan yang lebih damai di dalam kedua negara ini.
Arab Saudi juga dapat membangun kembali hubungan dengan pemerintah Suriah, seperti yang telah dilakukan Uni Emirates Arab, yang dapat membantu Damaskus dalam perjalanan menuju pemulihan dari perang brutal dan kehancuran ekonomi saat ini.
Suriah yang kuat dan bersatu di masa depan juga dapat menjadi ancaman strategis bagi Israel. Sementara perjanjian Saudi-Iran dapat menimbulkan tantangan serius secara regional untuk pendekatan kebijakan Israel saat ini.
Selain itu strategi agresif Israel seperti serangan langsung terhadap fasilitas nuklir Iran, sekarang bisa jauh lebih sulit dilakukan oleh Israel, dengan Arab Saudi mengambil pendekatan non-agresi ke Iran.
Jika hubungan Saudi-Iran dapat berkembang dan kesepakatan yang ditengahi China bertahan,ini tentunya merupakan kekalahan bagi Israel. (Rasya)