ISLAMTODAY ID-Laporan polisi Portugis mengabarkan dua orang tewas dan beberapa lainnya luka-luka dalam penusukan di sebuah pusat Islam di ibu kota Portugis, Lisbon.
Petugas dipanggil ke pusat tersebut tepat sebelum pukul 11 pagi (10:00 GMT) pada hari Selasa (28/3/2023) di mana mereka bertemu dengan seorang pria “bersenjatakan pisau besar”.
Tersangka telah ditahan setelah ditembak oleh polisi karena tidak mematuhi peringatan untuk meletakkan senjatanya.
“Dua karyawan wanita, berusia 49 dan 24 tahun, dari Pusat Ismaili, yang terletak tidak jauh dari stadion sepak bola Benfica Lisbon, tewas dalam serangan tersebut,” menurut sebuah laporan dari stasiun TV RTP.
Seorang juru bicara polisi mengatakan kepada kantor berita dpa bahwa almarhumah belum secara resmi diidentifikasi dan dicurigai adanya “serangan teroris”, tetapi tanpa mengesampingkan motif lain.
Media lokal melaporkan bahwa penyerang adalah seorang janda pengungsi Afghanistan dan seorang ayah dari tiga anak. Al Jazeera tidak dapat mengkonfirmasi identitas penyerang secara independen.
Perdana Menteri Antonio Costa menyampaikan belasungkawa dan solidaritasnya kepada keluarga para korban dan juga kepada komunitas Ismaili di Portugal di Twitter.
Terlalu dini untuk berspekulasi tentang motif kejahatan ini, kata Costa.
“Kita harus menunggu hasil investigasi,” ungkapnya, seperti dilansir dari Al Jazeera, Selasa (28/3/2023).
Di kemudian hari, Menteri Dalam Negeri Jose Luis Carneiro, mengatakan bahwa “semuanya mengarah pada kepercayaan” bahwa serangan itu adalah “tindakan yang terisolasi”.
Portugal telah dianggap sebagai salah satu negara teraman di dunia dan tidak cenderung mengalami serangan Islamofobia atau kejahatan tingkat tinggi secara umum.
Pangeran Karim Aga Khan, pemimpin spiritual kaum Ismaili sedunia, membuka pusat Lisbon pada tahun 1998.
Pusat ini memiliki ruang pameran, ruang kelas, dan ruang doa.
Ada sekitar 7.000 Muslim Ismailiyah yang tinggal di Portugal, negara berpenduduk sekitar 10 juta orang. Kaum Ismailiyah termasuk dalam cabang Islam Syiah.
Banyak yang melarikan diri ke Portugal dari Mozambik, bekas jajahan Portugis selama perang saudara di negara Afrika itu yang berakhir pada 1992.
(Resa/Al Jazeera)