(IslamToday ID) – Pengadilan banding Swedia mengatakan polisi tidak memiliki dasar hukum untuk memblokir dua pertemuan yang memiliki agenda membakar Al-Quran awal tahun ini.
Putusan pengadilan hari Senin (12/6/2023) itu mengacu pada insiden pembakaran Al-Quran di luar kedutaan Türkiye di Stockholm pada bulan Januari lalu.
Insiden itu memicu kemarahan di dunia Muslim, dan menyebabkan protes selama berminggu-minggu, serta seruan untuk memboikot barang-barang Swedia dan selanjutnya menunda tawaran keanggotaan NATO oleh Swedia.
Setelahnya polisi juga menolak mengesahkan dua permintaan untuk mengadakan pembakaran Alquran di luar kedutaan Türkiye dan Irak di Stockholm pada bulan Februari. Polisi berpendapat protes Januari telah menjadikan Swedia target serangan yang diprioritaskan lebih tinggi.
Akan tetapi, penyelenggara protes mengajukan banding sehingga Pengadilan Administratif Stockholm membatalkan keputusan tersebut. Alasannya karena masalah keamanan yang dikutip tidak cukup untuk membatasi hak untuk berdemonstrasi.
Dilansir dari TRTWorld, Senin (12/6/2023), pengadilan banding mengatakan masalah ketertiban dan keamanan yang dirujuk oleh polisi tidak memiliki hubungan yang cukup jelas dengan kegiatan yang direncanakan atau sekitarnya.
Permohonan Swedia Sebagai Anggota NATO
Polisi Swedia telah mengizinkan protes Januari yang diselenggarakan oleh Rasmus Paludan, seorang aktivis Swedia-Denmark yang telah dihukum karena pelecehan rasis dan dituduh pedofilia.
Paludan juga memprovokasi kerusuhan di Swedia tahun lalu ketika melakukan tur keliling negara dan secara terbuka membakar kitab suci umat Islam.
Pembakaran Al-Quran di bulan Januari juga merusak hubungan Swedia dengan Türkiye. Ankara telah memblokir tawaran NATO Swedia karena dianggap sebagai kegagalan Stockholm untuk menindak pendukung kelompok teror PKK/YPG.
“Jelas bahwa mereka yang menyebabkan aib seperti itu di depan kedutaan negara kami tidak dapat lagi mengharapkan kebaikan dari kami terkait permohonan mereka untuk menjadi anggota NATO,” ungkap Presiden Türkiye Recep Tayyip Erdogan pada Januari. [res]