(IslamToday ID)—Pelepasan air radioaktif yang telah diolah dari pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima ke Samudera Pasifik oleh Tokyo Electric Power Company (TEPCO) telah dimulai sejak tanggal 24 Agustus.
Pelepasan ini menciptakan kritikan keras hingga ditentang berbagai elemen baik negara, maupun para ilmuwan.
Pada tanggal 28 Agustus, dua ilmuwan dan satu aktivis politik menyampaikan kritik keras terhadap langkah pemerintah Jepang terhadap masalah ini, mereka adalah:
Arjun Makhijani, PhD, seorang insinyur nuklir dan penulis yang merupakan presiden Institute for Energy and Environmental Research (berbasis di Maryland, AS) dan anggota Panel Pakar yang ditunjuk oleh Pacific Islands Forum (sebuah organisasi yang terdiri dari 18 negara kepulauan Pasifik, termasuk Australia dan Selandia Baru).
Shinichi Kurokawa, profesor emeritus dari Organisasi Penelitian Akselerator Energi Tinggi Jepang, yang berlokasi di kota sains Tsukuba di timur laut Tokyo.
Junichi Nukushina, perwakilan dari Forum Sipil tentang Kerusakan Radiasi Nuklir Jepang, sebuah organisasi warga negara yang beroperasi melalui situs web interaktif dan media sosial.
Judul presentasi mereka adalah “Keputusan yang Salah untuk Fukushima: Masalah Ilmiah pada Rencana Pengolahan Air ALPS.” ALPS, singkatan dari Advanced Liquid Processing System, adalah sistem pemurnian yang digunakan untuk menghilangkan bahan radioaktif dari air limbah di Fukushima.
Poin-poin utama yang diangkat adalah:
Rencana pembuangan TEPCO tidak sesuai dengan beberapa prinsip, persyaratan dan pedoman keselamatan dasar IAEA (Badan Energi Atom Internasional).
IAEA telah mengabaikan kepentingan negara-negara di kawasan Pasifik dan dokumen pedoman prinsip-prinsip mereka sendiri demi mendukung Pemerintah Jepang, terutama dengan menolak untuk memeriksa apakah langkah pembuangan limbah nuklir Jepang tersebut dapat dibenarkan.
Posisi Jepang yang menganggap kawasan Pasifik adalah satu masyarakat dan dapat memutuskan atas nama semua orang bahwa apa yang mereka lakukan itu dibenarkan. Hal ini membuka peluang terjadinya kekacauan ekologis karena kini semua orang bisa berasumsi sama mengenai pembuangan limbah ke laut.
Sudah saatnya menghentikan praktik Jepang ini adalah solusi.
Jepang dan IAEA menolak alternatif Panel Pakar untuk menyaring air dan membuat beton, yang seharusnya mematuhi prinsip dan pedoman keselamatan IAEA.
Namun Makhijani menekankan bahwa “Laporan akhir IAEA mengatakan Jepang telah membuat keputusan sebelum mengundang peninjauan IAEA.”
Dengan kata lain, kesembronoan dari Jepang yang tidak berkonsultasi dengan IAEA, akan membuka celah besar bagi negara mana pun untuk melakukan tindakan yang tidak dapat dibenarkan dan kemudian meminta izin IAEA.
Menanggapi permintaan dari Forum Kepulauan Pasifik yang diinisiasi China, dengan mudahnya Jepang menyatakan bahwa tidak diperlukan evaluasi apakah manfaatnya lebih besar daripada kerugiannya bagi setiap negara karena kawasan Pasifik adalah satu masyarakat.
Makhijani menganggap pernyataan ini sangat keterlaluan. “Keputusan sepihak Jepang adalah hal yang mengejutkan dan tidak dapat diterima.” ungkapnya
Hal ini “membuka jalan menuju kemungkinan terjadinya kekacauan ekologis karena negara mana pun dapat mengklaim bahwa Samudera Pasifik merupakan sebuah wilayah bebas dan kemudian memutuskan tindakan pencemaran secara sepihak.
[sya]