(IslamToday ID)—Keputusan Prancis untuk melarang atlet-atletnya mengenakan hijab saat bersiap menjadi tuan rumah Olimpiade adalah aturan terbaru dalam serangkaian larangan pemerintah yang mendapat kecaman internasional.
Negara ini sekali lagi menarik perhatian dengan keputusannya terbarunya yang melarang atlet-atletnya mengenakan jilbab Islam efektif pada 26 Juli 2024, tanggal di mana obor Olimpiade akan dinyalakan.
Menteri Olahraga Prancis Amelie Oudea-Castera mengumumkan selama program televisi bahwa atlet perempuan dalam delegasi Prancis tidak akan dapat mengenakan hijab selama Olimpiade.
Dilansir dari TRTWorld, Jumat (6/10/2023), keputusan ini memicu reaksi keras dan kembali memicu debat tentang pelanggaran hak asasi manusia.
Keragaman
Federasi Olahraga Solidaritas Islam pada 2 Oktober menyatakan “kekhawatiran mendalamnya mengenai keputusan pemerintah baru-baru ini untuk mencegah atlet Prancis mengenakan hijab dalam Olimpiade Paris yang akan datang.”
Untuk diketahui, Federasi ini merupakan sebuah kelompok yang mencakup negara-negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI).
Federasi tersebut menekankan dalam pernyataannya bahwa “larangan ini bertentangan dengan prinsip-prinsip kesetaraan, inklusi, dan penghormatan terhadap keragaman budaya yang menjadi landasan Olimpiade.”
Hal ini datang setelah Komite Olimpiade Internasional (KOI) mengatakan pada tanggal 29 September bahwa “tidak ada pembatasan mengenakan hijab atau pakaian agama atau budaya lainnya.”
Pernyataan KOI dipuji oleh mantan Perdana Menteri Maroko Saad Eddine el Othmani.
Juru bicara kantor hak asasi manusia PBB, Marta Hurtado, mengungkapkan pandangan serupa.
“Tidak seorang pun boleh memaksakan kepada seorang wanita apa yang harus dia kenakan atau tidak kenakan,” ungkap Hurtado dalam pernyataan.
“Praktik diskriminatif ini terhadap sebuah kelompok dapat memiliki konsekuensi yang merugikan,” tambahnya.
Dalam kritik tidak langsung terhadap posisi Prancis, Sekretaris Jenderal Persatuan Ulama Muslim Internasional, Ali al Qaradaghi memberikan pernyataan.
“kota-kota terbesar di Britania Raya telah menempatkan patung seorang wanita yang mengenakan hijab di jalanan mereka… Orang-orang yang rasional memahami struktur masyarakat mereka dan berusaha menghormati privasi identitas.”
Sekretaris Jenderal Delegasi Federasi Badan Keagamaan Islam Spanyol di kota Maroko Ceuta, Idris al Wahabi juga memberi pernyataan.
Dia mengatakan bahwa keputusan semacam itu oleh Prancis “dimaksudkan untuk memprovokasi umat Islam secara umum dan orang-orang Maroko secara khusus,”
Lebih lanjut, dia juga mencatat bahwa orang-orang Maroko merupakan kelompok Muslim terbesar di Prancis.
“Kami bekerja sama dengan federasi dan badan-badan Islam yang ada di Prancis untuk menentang keputusan semacam itu,” tambah Wahabi.
Kemarahan di Media Sosial
Penolakan terhadap keputusan Prancis tidak terbatas pada badan-badan regional dan internasional dan tokoh-tokoh masyarakat, karena kritik dan kecaman menyebar di platform media sosial.
Penulis dan analis politik Yasser al Zaatara menggambarkan keputusan tersebut sebagai “histeria” terhadap hijab dan “pamer otot terhadap Muslim.”
Mengkritik Presiden Prancis Emmanuel Macron, Al Zaatara memuji posisi KOI, menganggapnya “pukulan bagi Macron dan geng Islamofobia Prancis.”
“Presiden Prancis sedang melawan hijab di Prancis dengan dalih bahwa itu bertentangan dengan sekulerisme negara. Namun, dia tidak memiliki masalah menghadiri misa yang diadakan oleh Paus,” ungkap Mohsen al Obaidi al Saffar.
“Masalah Macron bukanlah dengan agama, tetapi dengan Islam secara khusus,” tambahnya.
Abdel Hamid al Lingawi mengatakan bahwa “Prancis telah membuktikan bahwa itu adalah negara rasialis yang tidak pantas menjadi tuan rumah Olimpiade.”(res)