(IslamToday ID)—Ribuan warga Palestina telah meninggalkan Gaza utara dengan berjalan kaki, mengibarkan bendera putih dan bergerak ke selatan untuk mencari perlindungan yang semakin sulit diperoleh ketika penjajah Israel menggempur seluruh wilayah tersebut dengan serangan udara.
PBB mengatakan pada hari Rabu (8/11/2023) bahwa 15.000 warga Palestina telah meninggalkan Gaza utara sehari sebelumnya, menggunakan arteri lalu lintas utama, Jalan Salah al-Din.
Jumlah ini tiga kali lipat dari perkiraan pada hari Senin (6/11/2023).
Militer penjajah Israel memberi waktu empat jam kepada penduduk Gaza utara untuk pergi pada hari Rabu (8/11/2023).
“Sulit untuk mendapatkan informasi mengenai operasi militer yang sedang berlangsung, namun orang-orang yang kami ajak bicara di Gaza mengatakan mereka melihat pasukan Israel mendirikan posisi dan pos di gedung-gedung di dekatnya,” ungkap Alan Fisher dari Al Jazeera.
“Pada saat yang sama, kami melihat ribuan orang bergerak ke selatan – bukan konvoi mobil. Mereka sedang berjalan. Mereka mengibarkan bendera putih karena takut diserang. Mereka bergerak bersama dalam kelompok besar – dengan keyakinan bahwa jumlah mereka akan aman – dalam perjalanan putus asa ke selatan menuju masa depan yang mereka tidak tahu apa yang akan terjadi,” Fisher melaporkan.
Dia mengutip tentara Israel yang mengatakan ada sekitar 100.000 orang tersisa di Jalur Gaza utara, dibandingkan dengan sebelumnya satu juta orang.
“Tentara Israel mengatakan ketika mereka berada di Gaza, ini adalah tentang ‘mengencangkan tali’ terhadap Hamas, bahwa mereka akan menargetkan infrastruktur dan fasilitas senjata Hamas. Ini akan menjadi pukulan yang paling keras bagi pejuang Hamas yang mereka temukan.”
Israel mengatakan pasukan daratnya telah mengepung Kota Gaza dan terlibat dalam pertempuran kecil dengan pejuang dari kelompok Palestina.
Warga Palestina mengatakan tidak ada satupun wilayah yang aman dari pemboman penjajah Israel. Lebih dari 70 persen dari 2,3 juta penduduk Gaza telah mengungsi.
Dilansir dari Al Jazeera, Rabu (8/11/2023), mayoritas – termasuk anak-anak, orang lanjut usia, dan penyandang disabilitas – mengungsi dengan harta benda yang minim.
Beberapa melaporkan harus melintasi pos pemeriksaan Israel untuk mencapai wilayah selatan dan menyaksikan penangkapan oleh pasukan Israel.
“Mayoritas orang telah meninggalkan tanah mereka karena pengepungan [Israel] telah menjadi hal yang mutlak di Gaza. Kami tidak punya air, listrik, dan tepung,” Ameer Ghalban, sambil mendorong seorang lansia yang menggunakan kursi roda di jalan utama Gaza, mengatakan kepada kantor berita The Associated Press.
“Kami sedang duduk dengan damai ketika tiba-tiba serangan udara F-16 mendarat di sebuah rumah dan meledakkannya, seluruh blok, tiga rumah bersebelahan,” Mohammed Abu Daqa, seorang saksi serangan udara Israel di Khan Younis di Gaza selatan, mengatakan kepada AP.
“Warga sipil, semuanya warga sipil. Seorang wanita tua, seorang pria tua, dan masih banyak lagi yang hilang di bawah reruntuhan.”
Lebih dari 10,569 orang tewas dalam pemboman tanpa henti Israel, termasuk 4,324 anak-anak, menurut Kementerian Kesehatan Gaza.
Perang pecah pada tanggal 7 Oktober ketika Hamas melancarkan serangan terhadap Israel selatan yang menurut pihak berwenang di sana menewaskan lebih dari 1.400 orang.
Pengungsian di Gaza, dimana mayoritas penduduknya adalah pengungsi dengan orang tua atau kakek-nenek yang diusir secara paksa dari rumah mereka dan dilarang kembali pada saat berdirinya Israel pada tahun 1948, telah menghidupkan kembali perasaan deja vu yang menyakitkan.
“Kami tidak dapat menemukan makanan, dan tidak ada tepung. Orang-orang menunggu dalam antrian panjang untuk mendapatkan air,” ungkap Umm Moamen al-Arja, seorang ibu yang mengungsi di Gaza selatan, kepada Al Jazeera.
“Kami hanya ingin kembali ke rumah kami dan berkumpul kembali dengan keluarga kami.”(res)