(IslamToday ID) – Presiden Tiongkok Xi Jinping melakukan kunjungan diplomatik perdananya dalam lima tahun belakangan ke Eropa. Kunjungan ini dilakukan di tengah menurunnya gelombang kepercayaan terhadap kepemimpinan global Amerika Serikat.
Penggunaan sanksi ekonomi sepihak yang dipaksakan oleh Amerika Serikat terhadap hampir sepertiga populasi dunia telah membahayakan posisi dolar sebagai mata uang cadangan global secara de facto. Alasan itulah yang membuat berbagai kekuatan dunia mencari alternatif lain termasuk Tiongkok.
Dikutip dari Sputnik, Senin (6/5/2024), The New York Times membeberkan alasan kunjungan Xi Jinping ke tiga negara yang akan dikunjunginya yakni Prancis, Hungaria, dan Serbia.
Diketahui, Perancis telah lama berusaha untuk menolak pengaruh AS atas urusannya, dengan negarawan yang dihormati Charles de Gaulle yang terkenal menolak untuk menempatkan pasukan Prancis di bawah komando NATO.
Presiden Emmanuel Macron saat ini telah menganjurkan otonomi strategis dalam urusan Eropa, memposisikan Uni Eropa sebagai kekuatan besar ketiga yang independen dari Cina dan Amerika.
Kemudian Hongaria. Hongaria juga telah menantang pengaruh AS atas urusan dalam negerinya, menolak kritik terhadap Perdana Menteri Viktor Orban yang menyatakan diri sebagai “demokrat Kristen yang tidak liberal”.
Ada pula Serbia. Penentangan terhadap Amerika Serikat mungkin yang terkuat di Serbia, di mana dampak jangka panjang dari pengeboman Beograd tahun 1999 oleh NATO masih terasa.
Meningkatnya angka kanker dan cacat lahir masih terjadi beberapa dekade setelah aliansi tersebut menggunakan uranium yang sudah habis dalam serangannya ke ibu kota.
Hingga saat ini pengeboman kedutaan besar AS di Beograd selama serangan tersebut masih diperingati secara rutin oleh Cina dan Serbia.
Namun, di luar kesamaan yang dimiliki dengan latar belakang keberatan terhadap dominasi AS, ada juga hubungan budaya, ekonomi, dan sejarah yang kuat yang mempengaruhi Tiongkok melakukan kunjungan ke tiga negara tersebut.
Diketahui hubungan Beijing dengan Serbia sudah terjalin sejak zaman Yugoslavia, ketika kedua negara memiliki visi sosialis yang egaliter.
Hongaria menjadi penerima investasi langsung Tiongkok terbesar pada tahun 2015 dengan Orban yang dengan antusias berpartisipasi dalam proyek-proyek infrastruktur Belt and Road.
Sementara itu, hubungan Prancis dan Tiongkok sudah terjalin sejak Abad Pertengahan. Pada saat itu biksu Tiongkok, Rabban Bar Sauma, dijamu oleh Raja Philip IV dari Prancis dalam sebuah perjalanan diplomatik yang dilakukan oleh utusan Uighur ke seluruh Eropa.
Saat ini, kedua negara bergabung bersama dengan status bersama sebagai negara ekonomi G20, anggota Dewan Keamanan PBB, dan kekuatan regional utama.
“Menatap masa depan, perdamaian dan pembangunan tetap menjadi tren sejarah dan aspirasi masyarakat,” demikian pernyataan Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi pada tahun 2023.
“Pengalaman Tiongkok menunjukkan bahwa jalur pembangunan damai telah berhasil dan berjalan dengan baik. Tidak ada alasan bagi kami untuk menghentikannya, tetapi kami memiliki banyak alasan untuk tetap berada di jalur ini, dan bekerja sama dengan lebih banyak negara dalam mengejar pembangunan damai,” lanjutnya.
“Ketika semua negara mengejar pembangunan damai, masa depan umat manusia akan penuh dengan harapan,” pungkasnya.
Seiring dengan kekuatan ekonomi dan pengaruhnya yang terus berkembang, Tiongkok menegaskan komitmennya terhadap pembangunan damai dan kepeduliannya terhadap kemajuan umat manusia.
Kunjungan Xi ke Eropa menunjukkan bahwa negara ini bersedia untuk mencari sekutu dalam perjuangannya di mana pun mereka dapat ditemukan, bahkan ketika tren yang lebih luas mengancam untuk membuat kekuatan-kekuatan dunia terpisah.
Diketahui, negara-negara di seluruh Dunia Selatan telah bergolak di bawah desakan Amerika Serikat. Mereka harus mengikuti langkah Amerika untuk mengisolasi Rusia setelah peluncuran operasi militer khusus di Donbass.
Fenomena ini terlihat jelas di Afrika Utara, dengan sejumlah negara yang mengakhiri kerja sama militer dengan AS dan mengusir pasukan Amerika.
Bahkan di Eropa Barat, citra Amerika Serikat telah terpukul. Para pejabat NATO bergegas untuk mempersiapkan diri menghadapi masa depan yang mungkin terjadi tanpa peran pemandu dari Washington, karena khawatir kepresidenan Donald Trump yang kedua akan membuat AS memotong dana atau bahkan menarik diri dari aliansi militer tersebut.
Persepsi sekutu historis terhadap negara ini tampaknya telah berubah secara permanen setelah masa kekacauan raja real estat yang kontroversial ini memimpin.
Sepertiga orang Eropa sekarang mengatakan bahwa Amerika Serikat tidak dapat dipercaya, sementara lebih dari dua pertiganya mengatakan bahwa negara ini bukan model demokrasi. [ran]