Oleh: Ibnu Said
(IslamToday.id) — Tak ada yang kebetulan di dunia ini. Matinya lampu di hari libur, ketika semua perkantoran tutup, di saat aktifitas keluarga lebih penting daripada segalanya. Maka, bagi sebagian orang, justru hari yang penting bagi keluarga ini adalah momentum yang akan berpengaruh lebih besar dibandingkan hari kerja biasa.
Mengapa memilih hari libur dan hari saatnya berkumpul keluarga? Banyak kemungkinan bisa terjadi, namun bukan soal ini yang mau dibahas dalam narasi artikel ini.
Dalam skema perang Asimetris (Asymmetric Warfare), dimana skema perang hari ini dikembangkan melalui tebar issue guna membangun opini publik, ataupun sebaliknya untuk menjatuhkan ‘public trust’ (tingkat kepercayaan masyarakat) terhadap obyek yang hendak digarap.
Filsafat mengajarkan, bahwa perubahan sosial apapun di dunia ini selalu diawali munculnya ketidakpercayaan publik, ada ‘public distrust’ terbenam di benak publik. Dan keniscayaan perubahan berlaku di bidang apa saja, dimana saja dan kapan saja.
Bagaikan fenomena gunung es, dimana bagian puncak yang terlihat nampaknya hanya seperti bongkahan es yang kecil, tetapi ternyata di dalam lautan terdapat gunung yang akarnya menembus hingga ke dasar lautan.
Itu artinya dibalik puncak issue, kerap kali terdapat agenda besar yang jarang diketahui oleh publik. Dan bila issue ini berkaitan dengan issue energi, maka hal ini kerap kali tak bisa dipisahkan dengan kepentingan besar Negara Adidaya selaku penguasa sumber energi.
Seperti kita ketahui bersama, setiap negara adidaya hari ini memiliki sumber cadangan energi yang mereka andalkan masing-masing. Mengusik sumber cadangan energi negara adidaya, maka itu artinya mengusik negara adidaya.
Melihat dari kacamata Perang Asimetris, Energi Listrik merupakan ancaman bagi energi minyak bumi. Belum lagi efek lain yang bisa muncul dan dimaknai, misalnya, men-downgrade konsepsi mobil listrik, belum lagi perang e-money atau jenis pembayaran elektrik lainnya yang kini mulai marak.
Sontak kita sadar bahwa kemajuan teknologi membuat kita kuat tapi juga lemah sekaligus. Benarkah kemajuan teknologi komunikasi dan telekomunikasi membuat kita di puncak kekuatan? Jangan jangan kita di puncak kelemahan. Sebab apa?
Karena ketergantungan, masyarakat kita begitu tergantung pada tekonologi. The Internet of Things (IOT), bukan hanya ketergantungan kita pada laptop dan komputer. Melainkan pada apapun yang memiliki tombol untuk menyala. Mesin cuci, pembuat kopi, kamera digital, termostat, komponen komponen mesin, mesin jet, dan masih banyak lagi.
Melihat dari kacamata Perang Asimetris, maka bukan tidak mungkin bila hari ini telah terjadi perang besar di dasar gunung antara penguasa tambang minyak atau lebih tepatnya korporasi Minyak Bumi versus dengan penguasa tambang (korporasi tambang) batubara sebagai sumber pasokan tenaga uap penghasil energi listrik atau PLTU.
Bila memang benar hal ini yang sedang terjadi, dalam hal ini, kita patut bersedih, sebab kita hanya dicetak sebagai proxy war dalam arti hanya sebagai medan tempur kepentingan-kepentingan berbagai negara dan korporasi besar.
Bila narasi di atas mendekati kebenaran, kira-kira apa skema yang hendak ditancapkan? Kepentingan siapa terusik? Atau di sisi lain, melemahkan konsepsi energi mobil listrik guna mengatasi isu polusi udara, atau energi listrik versus energi minyak? dst.
Dibalik itu semua, lagi-lagi rakyat kecil yang hanya menjadi korban kepentingan eksploitasi ekonomi global. Para teroris penguasa masing-masing tambang tersebut tahu benar bahwa rakyat membutuhkan pasokan energi dan bagaimana bila pasokan energi ini di matikan? Dan lagi-lagi akhirnya kita hanyalah menjadi korban perang antar kepentingan para mafia tambang tersebut..
Penulis: Ibnu Said, Pengamat Geopolitik Global
Diolah dari Buku “Perang Asimetris dan Skema Penjajahan Gaya Baru” yang ditulis oleh Arief Pranoto dan Hendrajit, diterbitkan oleh Global Future Institute.