JAKARTA, (IslamToday.id) — Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai, Presiden Jokowi kurang menghimpun masukan dari ahli ketatanegaraan terkait tahapan-tahapan pemindahan ibu kota. Hal ini disampaikan Fahri menyusul diumumkannya pemindahan ibu kota negara ke Provinsi Kalimantan Timur oleh Presiden Joko Widodo.
“Terus terang saya menyayangkan kurangnya ahli tata negara di sekitar presiden sehingga presiden itu tidak menjalankan suatu proses ketatanegaraan yang resmi, yang lazim. Proses ketatanegaraan yang lazim itu kan ada tahapannya,” pungkas Fahri Hamzah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (26/8/2019).
Fahri Hamzah mengatakan, lazimnya pemindahan ibu kota melalui kajian akan perubahan ketentuan-ketentuan lama, seperti melakukan pengecekan pada UUD 1945 dan undang-undang terkait.
Menurut Fahri, pengecekan UUD 1945 prosesnya dilakukan melalui MPR.
“Barulah dia bicara dengan DPR di komisi-komisi di mana UU itu harus diubah. Sebab, UU yang harus diubah untuk perpindahan ibu kota lebih dari 8 dalam kajian sementara yang saya temukan,” ujarnya.
Selanjutnya, Fahri menyayangkan Jokowi mengumumkan pemindahan ibu kota secara sepihak.
Ia juga menyesalkan orang-orang terdekat presiden yang dinilainya tak memberikan masukan untuk melakukan kajian dan naskah akademik terlebih dahulu.
“Mohon maaf bapak presiden, enggak begitu caranya, mesti bikin UU dulu, mesti bikin kajian, naskah akademik dulu, enggak ada. Saya sudah lihat paper-nya segala macam, enggak ada,” tandasnya.
Presiden Jokowi baru-baru ini mengumumkan ibu kota baru berada di Kalimantan dalam konferensi pers di Istana Negara, Jakarta, Senin (26/8/2019)
“Lokasi ibu kota baru yang paling ideal adalah di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur,” ujar Jokowi.
Ia menyatakan bahwa keputusan ini dilakukan setelah pemerintah melakukan kajian intensif. “Pemerintah telah melakukan kajian mendalam dan intensifkan studinya selama tiga tahun terakhir,” jelas Jokowi.