JAKARTA, (IslamToday ID) – MUI menyatakan tidak setuju dengan usul Presiden Jokowi terkait penggantian istilah radikalisme menjadi manipulator agama. Kedua istilah tersebut dinilai adalah dua hal yang berbeda.
“Saya melihat antara manipulator agama
dan radikalisme itu dua hal berbeda. Manipulator itu orang yang tahu kebenaran
kemudian dia memanipulasi, membohongi. Sementara radikalisme itu paham yang
mendalam tentang sesuatu dan paham itu jadi ekstrem,” kata Ketua Komisi Dakwah
MUI, KH Cholil Nafis, Kamis (31/10/2019).
Ia berpendapat orang dengan paham radikal tidak
bisa digeneralisir sebagai manipulator agama. Sebab, para pelaku teror pun ada
yang dalam kondisi tidak paham atau tidak tahu agama.
“Orang yang jadi teroris itu bukan
manipulator, tapi dia tertipu. Manten-manten
itu orang yang tidak paham lalu diberi agama oleh seseorang yang kemungkinan
memang dia tidak tahu agama,” ujar Cholil.
Menurutnya, manipulator agama adalah orang yang
paham agama namun menggunakan untuk kepentingan kekerasan atau teror. Sedangkan
teroris belum tentu manipulator agama.
“Kalau saya langsung saja menyebut terorisme.
Karena kalau radikalisme ada yang positif, meski sekarang banyak diartikan
negatif. Bahwa radikalisme itu bukannya radix, tapi memahami agama secara
dangkal lalu dia salah dalam memahami agama sehingga menjadi terorisme,”
ujarnya.
“Kalau radikalisme dalam pikiran, dalam
belajar, beda. Jadi memang debatable
kalau istilah radikalisme. Tapi ketika bicara teroris, semua sepakat itu adalah
musuh kita bersama,” ungkap Cholil.
Soal radikalisme kerap dikaitkan dengan kelompok
yang mengusung ideologi khilafah, Cholil mengatakan, khilafah bukanlah sistem
pemerintahan yang paling islami.
Ia mengatakan Islam tidak mengharuskan sistem pemerintahan suatu negara menggunakan khilafah. Islam hanya mewajibkan negara memastikan tegaknya keadilan, ketenteraman sosial, dan kebebasan beragama.
“Ya karena bisa saja manipulator, dia
sudah paham tapi menyalahgunakannya gini, khilafah. Khilafah itu pernah ada
dalam Islam. Tapi sistem negara Islam bukan hanya khilafah. Jadi menyatakan
bahwa hanya khilafah yang islami itu yang salah. Karena intinya Islam tidak
memastikan model negara, yang penting adalah keadilan. Memang dulu ada
khilafah, tapi bukan berarti yang tidak khilafah tidak Islam. Itu yang salah,”
ujarnya.
Oleh karena itu, Cholil mengatakan, lebih
mengutamakan substansi agama ketimbang mengganti istilah. Sehingga agama dapat
dijadikan spirit perubahan. “Ya (ganti istilah) belum diperlukan, yang perlu
itu substansinya, bagaimana orang bisa memahami agama dengan benar. Agama yang
membangun peradaban. Soal istilah bisa beda-beda. Kalau saya lebih pada konsep
substansi bagaimana agama jadi spirit membangun bangsa Indonesia. Sama seperti
dulu bagaimana agama jadi spirit meraih kemerdekaan. Itu lebih substansi,”
ungkapnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Presiden Jokowi sempat mengganti istilah radikalisme dengan manipulator agama. “Apakah ada istilah lain (radikalisme) yang bisa kita gunakan, misalnya manipulator agama. Saya serahkan kepada Pak Menko Polhukam untuk mengkoordinasikan masalah ini,” kata Jokowi. (wip)
Sumber: Detik