JAKARTA,
(IslamToday ID) – Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din
Syamsuddin mengkritisi penggunaan kata radikal atau radikalisme yang kerap
digunakan untuk menggambarkan sikap ekstrem seseorang. Menurutnya, istilah
radikal sesungguhnya tidak selalu bermakna buruk.
“Radikalisme itu secara terminologis bisa positif bisa negatif. Karena radikal
itu bisa positif, kami berpegang teguh. Pancasila harga mati, itu radikal,
radikal itu akar. Jadi yang bilang NKRI berdasarkan Pancasila harga mati, itu
sikap radikal,” terang Din di kantor MUI Pusat, Jakarta Pusat, Rabu (27/11/2019)
malam.
Ia berpandangan cara berpakaian atau penampilan seseorang tak bisa serta merta
dicap terkait radikalisme. Misalnya, bercelana cingkrang atau berjenggot yang
seusai syariat Islam.
“Kalau beragama dan menjalankan dengan syariat yang diyakininya (berjenggot,
bercelana cingkrang) itu keyakinan beragama yang dijamin konstitusi,” ujar Din.
Ketua Dewan Pertimbangan MUI itu
melanjutkan, setiap warga negara memiliki kebebasan menjalankan ibadah sesuai
agama dan keyakinannya. Maka praktik-praktik dalam beribadah pun tak bisa
dilarang, termasuk cara berpenampilan.
“Itu (cingkrang atau berjenggot) ada kaitannya dengan
terorisme? Yang meledakkan bom kan banyak juga yang pakai celana jins, banyak yang
kemudian berpakaian lain,” ungkapnya.
Selain penggunaan istilah, kerancuan nalar tersebut, menurutnya,
juga harus diperbaiki. Din tak ingin kekeliruan mendeteksi itu justru berujung
pada tuduhan tendensius ke kelompok tertentu.
Ia menjelaskan istilah yang
berkembang di dunia mengenai sikap yang mengarah pada keinginan mengubah
sesuatu yang sudah berakar, disebut dengan ekstremisme. PBB memakai istilah
itu. Sementara sikap ekstrem yang diikuti dengan kekerasan disebut dengan violence of extremism.
“Sikap yang melampaui batas, sikap yang tiran. Itu tidak
dibenarkan oleh agama manapun, termasuk Islam. Apalagi kalau ekstremisme itu
menggunakan kekerasan. Ini yang sekarang menjadi tantangan dunia,” kata Din
yang mengaku baru berdiskusi masalah serupa dengan perwakilan PBB, Profesor
Azza Karam.
PBB, katanya, juga tengah gencar
menangani masalah ekstremisme. Namun cara yang ditempuh bukan dengan mengkonter,
melainkan mencegah.
“PBB lebih memilih, bukan counter
kekerasan ektremisme, tapi preventing
extremism melalui SDGs. Pendekatan PBB itu soft, bagaimana cara mencegah kekerasan ekstrem dengan membangun
kehidupan manusia, membebaskan dari kemiskinan dan kebodohan,” ucapnya.
Radikalisme Sekuler Liberal
Din juga mengkritik agenda pemerintah
melawan radikalisme yang disebutnya hanya berkutat pada persoalan
radikalisme keagamaan. Menurutnya,
paham radikal yang berniat menggantikan ideologi Pancasila tak
melulu terkait gagasan keagamaan. Boleh jadi, radikalisme itu terkait
gagasan politik atau ekonomi.
“Jadi tidak selalu radikalisme keagamaan, tapi boleh jadi
bermotif politik atau ekonomi. Itu yang disebut radikalisme sekuler liberal,”
katanya.
“Lahirlah kehidupan politik yang
sekuler liberal, ekonomi yang sekuler liberal. Itu justru lebih berbahaya,”
lanjutnya.
Din menyebut praktik radikalisme ekonomi, terindikasi
salah satunya melalui indikasi penguasaan modal oleh kelompok tertentu.
Menurut Din, penguasaan tersebut secara tak langsung bisa
menggantikan nilai Pancasila. Penguasaan modal oleh kelompok tertentu
berpotensi mengakibatkan keadaan masyarakat yang tak sesuai dengan sila keempat
dan kelima soal musyawarah mufakat dan keadilan sosial.
“Mbok ya,
pemerintah itu jangan pakai kacamata kuda. Melihat seolah radikalisme keagamaan
saja yang menggantikan Pancasila. Itu (radikalisme keagamaan) harus kita tolak,
tapi perluaslah wawasan, bahwa ternyata ada radikalisme liberal sekuler yang
sudah merasuki kehidupan ekonomi kita, yang membuat kesenjangan,” jelas Din.
“Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin,”
tukasnya.
Din juga sempat menyinggung sejumlah
regulasi yang dinilainya tak memihak perekonomian rakyat. Ia berencana
mendaftar beberapa regulasi yang dianggap mengandung pasal problematis.
Harapannya, agar para anggota dewan di sejumlah partai Islam tersebut bisa
mengupayakan pembenahan.
“Sistem politik Indonesia dikaitkan dengan sila keempat, jauh
panggang dari api. Sistem ekonomi Indonesia, teori dan praktiknya dikaitkan
dengan sila kelima, jauh panggang dari api,” tuturnya. (wip)
Sumber: CNNIndonesia.com