NEW YORK, (IslamToday ID) – Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin hadir di konferensi Multi-Religious Partnership for Peace and Development di New York, Amerika Serikat (AS) pada 11-12 Desember 2019. Acara yang diselenggarakan oleh Religions for Peace (RfP) itu dihadiri sekitar 250 tokoh agama dan pegiat perdamaian dunia dari berbagai negara.
Din hadir sebagai anggota International Council RfP dan President-Moderator Asian Conference on Religions for Peace (ACRP). Pertemuan tersebut merupakan kelanjutan World Assembly dari RfP di Lindau, Jerman, Agustus 2019 lalu. Tema yang dibahas yakni seputar pencegahan dan transformasi konflik, solusi kerusakan lingkungan hidup, dan pengembangan kolaborasi lintas agama.
Din tampil pada hari pertama sebagai moderator sesi tentang kerusakan lingkungan hidup dan solusi perubahan iklim. Dalam pengantarnya, ia menegaskan bahwa masalah kerusakan lingkungan hidup telah sampai pada tahap krisis yang serius.
“Hal ini ditandai dengan terjadinya perubahan iklim dan pemanasan global yang melanda dunia akhir-akhir ini, serta berbagai bencana alam yang terjadi beruntun di berbagai belahan dunia,” kata Din.
Menurut Din, krisis lingkungan hidup berdimensi banyak, namun sejatinya bersifat krisis moral. Memang banyak faktor yang menjadi pemicu terjadinya krisis lingkungan hidup, dari wawasan dan gaya hidup manusia modern hingga kebijakan negara dan kekerasan pemodal (capital violence). Namun yang tidak bisa diingkari adalah pandangan moral manusia terhadap alam yang keliru.
Banyak manusia modern, lanjut Din, yang menjabat sebagai Ketua Pengarah Siaga Bumi (Indonesia Bergerak Selamatkan Bumi), memandang alam lebih sebagai objek dari pada subjek. Akibatnya, terhadap alam manusia lebih tampil sebagai perusak daripada pengembang. Padahal, agama mengajarkan bahwa alam seperti disebut dalam Alquran sebagai thabi’ah, mengandung arti subjek bukan objek (mathbu).
“Maka Islam mengajarkan agar manusia memuliakan alam sebagai ciptaan Tuhan yang juga memiliki jiwa. Sebagian dari alam dapat dijadikan sebagai bahan pendukung kehidupan, namun secara keseluruhan alam ada ranah padanya umat manusia membangun peradaban. Inilah yg disebut sebagai khilafah peradaban yang merupakan misi penciptaan manusia,” jelas Din.
Di acara konferensi itu, Din juga berbagi pengalaman dari Indonesia tentang kolaborasi lintas agama untuk pemuliaan lingkungan hidup dan pemeliharaan hutan. Ia bercerita bahwa pada 2014 silam bersama para tokoh lintas agama yang tergabung dalam Inter Religious Council (IRC) Indonesia mengambil prakarsa pembentukan Indonesia Bergerak Selamatkan Bumi (Siaga Bumi), yang merupakan kolaborasi umat berbagai agama untuk pemuliaan lingkungan hidup.
Siaga Bumi sejak tiga tahun terakhir mengupayakan adanya eco rumah ibadah (baik eco masjid, eco gereja, eco pura, eco vihara, dan eco klenteng). Begitu pula, pada Oktober 2018 Siaga Bumi bersama para LSM lingkungan hidup lainnya mempelopori suatu kolaborasi baru, yaitu Kolaborasi Agama-Agama utk Pelestarian Hutan Tropis (Multi-Faith Collaboration for Rainforest Protection).
“Kegiatan ini menarik perhatian dunia untuk mendukungnya, seperti dari Lembaga Lingkungan Hidup PBB (UNEP), Green Faiths, Religions for Peace, dan Noewegian Environmental Foundation,” ujar Din.
Mereka memiliki keprihatinan yang sama akan pentingnya penyelamatan paru-paru dunia, yakni Indonesia, Brazilia, Peru, dan Kongo. Gerakan yang dipimpin oleh Siaga Bumi dan Asosiasi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ini diharapkan segera menjadi kenyataan.
Pengalaman dari Indonesia mendapat sambutan dan penghargaan positif dari para peserta. Dan diharapkan dapat menjadi model dari kolaborasi agama-agama dalam penanggulangan masalah-masalah kemanusiaan. (wip)