JAKARTA, (IslamToday ID) – Ketua Bidang Hukum dan HAM Pimpinan Pusat (PP) Pemuda Muhammdiyah, Razikin menyatakan banyak persoalan HAM fundamental dari etnis Uighur yang dilanggar oleh pemerintah China. Ia mencontohkan seperti hak untuk mengekspresikan identitas kultural, hak untuk bebas diskriminasi, hak untuk mendapatkan rasa aman, dan hak-hak lainnya.
Menurutnya, kebijakan pemerintah China dalam membangun nasionalismenya lebih banyak dijalankan dengan cara-cara represif dan diskriminatif terhadap minoritas etnis Uighur di Xinjiang, ketimbang memberikan sebuah empowerment.
“Diskriminasi tersebut terpotret secara jelas dengan tidak diakuinya identitas lokal etnis Uighur dengan memaksakan memberikan identitas baru sebagai bangsa China. Sementara identitas baru tersebut dapat menghilangkan identitas-identitas lokal yang telah lama melekat dalam diri masyarakat Uighur,” katanya, Kamis (19/12/2019).
Razikin menganggap bahwa rentetan represif dan diskriminatif tersebut memunculkan pergolakan serta usaha-usaha pemberontakan. Ia bisa memahami bahwa semakin ditekan, maka terkadang orang justru akan semakin memberontak.
“Dan aksi-aksi separatisme ini bisa jadi merupakan manifestasi dari rasa frustrasi masyarakat Uighur karena terus mengalami diskriminasi dan represi pemerintah China,” tuturnya.
“Karena itu pemerintah China menggunakan retorika melawan radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme untuk membenarkan tindakan pembantaian terhadap muslim Uighur. Karena itu kami sangat mengecamnya,” pungkas Razikin.
Sebelumnya, Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri PP Muhammadiyah, Muhyiddin Junaidi mengatakan, delegasi ormas Islam dalam kunjungan ke Xinjiang Februari lalu mengungkap beberapa kecurigaan saat mengunjungi kamp konsentrasi Uighur.
Ia memaparkan bahwa setibanya di Urumqi, ibu kota Xinjiang Uighur Otonomis Region (SUAR), rombongan ormas Islam yang berjumlah 15 orang bertemu dengan Abdur Rofiq, Ketua China Islamic Association (CIA).
Kecurigaan pertama dirasakan ketika rombongan ormas Islam meminta ketua CIA untuk membawa rombongan ke masjid untuk salat berjamaah. Namun, ketua CIA tidak bisa memenuhi permintaan tersebut dengan alasan masjid terdekat cukup jauh, dan suhu udara yang teramat dingin.
“Kalau itu adalah permintaan dari tamu kepada sohibul bait (tuan rumah), biasanya apapun itu dituruti. Mulai saat itu kami mulai mencurigai,” ujar Muhyiddin, Senin (16/12/2019).
Ia menjelaskan, CIA adalah perpanjangan tangan pemerintah China, tidak seperti ormas Islam di Indonesia seperti Muhammadiyah, MUI, dan PBNU. Di China tidak ada organisasi non pemerintah, semua harus di bawah kontrol pemerintah China.
Kecurigaan kedua, sebut Muhyiddin, adalah petunjuk arah kiblat di dalam hotel tempat rombongan menginap. Menurutnya, petunjuk kiblat di hotel itu terlihat baru dan bentuknya berbeda dengan yang biasa ada di negeri muslim pada umumnya.
“Biasanya arah kiblat itu sudah tetap, definitif, jelas, dan besar kecilnya itu juga berbeda. Kami mulai curiga kedua,” ujarnya.
Kemudian, kecurigaan ketiga, Muhyiddin menceritakan ada seorang wartawan yang termasuk dalam rombongan mencoba ke luar hotel untuk mencari rokok dan minuman.
“Namun ketika keluar hotel, wartawan itu dicegat oleh petugas. Rokok, minuman, dan pembakar rokok yang diminta wartawan itu langsung diberikan. Alhasil, wartawan itu tidak bisa keluar dari pengawasan China, bertemu dengan penduduk setempat,” ungkapnya. (wip)
Sumber: Kiblat.net, Rmol.id