JAKARTA, (IslamToday ID) – Wacana seputar perilaku LGBT terus menjadi perdebatan panjang dalam kehidupan berbangsa. Pokok perdebatan disebabkan karena pendukung LGBT secara terang-terangan mulai tampil ke publik atas nama persamaan hak.
Hal itu diungkapkan oleh Ketua Kajian Hukum Aliansi Cinta Keluarga (AILA), Dinar Dewi Kania dalam sebuah diskusi di kantor INSISTS, Jakarta Selatan, Minggu (29/12/2019).
Menurut Dinar, isu advokasi legislasi LGBT kini hadir di ruang publik dan semakin masif dilakukan. Isu itu mendobrak batas ketabuan yang selama ini diyakini oleh masyarakat.
“Ke mana suara-suara mayoritas? Mayoritas masyarakat itu menolak adanya LGBT. Tapi yang terdengar adalah pihak yang mendukung. Karena banyak orang mayoritas yang tidak mau bersuara,” ujar Dinar.
Ia menjelaskan, AILA secara tegas menolak gerakan LGBT yang kini banyak disuarakan sebagai orientasi seksual yang normal. Namun, ia menegaskan AILA tidak membenci orang-orang yang terjebak penyakit tersebut.
“Harus dirangkul, yang kita lawan adalah perilaku dan propaganda. Kelompok yang mempropagandakan bahwa LGBT adalah perilaku normal,” kata Dinar.
Kelompok yang pro-LGBT terus melakukan propaganda agar masyarakat mau menyebut mereka normal. Salah satu yang dilakukan adalah mengaburkan makna fitrah atau sifat dasar manusia.
Dinar mengutip pendapat Hamza Yusuf bahwa pada dunia pramodem, sebagian besar peradaban manusia mengakui adanya sifat dasar manusia (human nature). Namun setelah periode pencerahan di Barat, ilmuwan mulai menolak adanya sifat bawaan manusia tersebut seperti David Hume.
“Ungkapan ‘anak layaknya kertas putih, siapapun bisa menulis’ itu adalah salah satu propaganda anti fitrah,” ujarnya.
Sekitar tahun 1960-an, gerakan tersebut berhasil. Bahkan saat ini di negara Eropa sudah ada pernikahan sesama jenis.
Dinar menjelaskan, pandangan anti fitrah seperti itu akhirnya menimbulkan gagasan tentang sifat bawaan yang cair. Misalnya ada kemungkinan manusia dilahirkan dalam tubuh yang salah, perempuan terjebak dalam tubuh pria atau sebaliknya.
Gender dalam paham itu, katanya, dianggap semata-mata enkulturasi, konstruksi sosial, dan bukan bersifat alamiah. Perubahan radikal tentang konsep fitrah yang banyak ditemui pada masyarakat Barat, saat ini semakin mempengaruhi orang-orang di Timur.
Dinar menjelaskan, nilai-nilai dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa di Indonesia menolak LGBT. Ini karena perilaku tersebut merupakan sebuah penyimpangan dari fitrah kemanusiaan.
Meskipun produk hukum dan perundangan di Indonesia tidak secara eksplisit membebaskan atau melarang LGBT, namun living law dan dasar negara Pancasila tidak memberi ruang pada perilaku tersebut. Hal ini karena bertentangan dengan nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.
“Perkawinan sesama jenis tidak mungkin dapat diterima dalam hukum Indonesia, karena bertentangan dengan hukum perkawinan,” ucapnya.
AILA lalu merekomendasikan beberapa hal. Pertama, kepada PBB yang harus berhenti mempromosikan dan memaksakan isu-isu yang tidak universal agar diakui sebagai bagian dari HAM.
“Apa lagi isu kontroversial seperti LGBT, karena mayoritas negara yang memegang nilai-nilai moral yang berasal dari agama, menolak perilaku LGBT,” ujarnya.
Kedua, PBB harus menyadari bahwa telah terjadi perdebatan panjang terkait penelitian-penelitian yang menyatakan LGBT bukan penyakit mental, dan mengakui adanya hasil penelitian yang berbeda mengenai kenormalan perilaku LGBT. Hasil penelitian selalu membawa paradigma atau filsafat yang berasal dari pandangan hidup saintis atau suatu kelompok ilmiah.
“Oleh karena itu, PBB dan organisasi-organisasi profesi intemasional juga sebaiknya menghargai pandangan para ahli dan praktisi di suatu negara. Tidak melakukan intervensi kepada keputusan profesional mereka, apalagi menggunakan data-data,” ujarnya. (wip)
Sumber: Indonesiainside.id