JAKARTA, (IslamToday ID) – Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz menilai kasus suap yang melibatkan mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan adalah tren dari perilaku partai politik dalam melakukan penggantian antar waktu (PAW) atau pemecatan kader.
Menurut Donal, ada gejala jual beli PAW pasca pemilu yang dilakukan oleh partai. Dan apa yang terjadi di PDIP dengan kadernya Harun Masiku adalah bagian dari fenomema ini.
“Ada gejala post election (pasca pemilu), setelah pemilu terjadi jual beli PAW, terjadi jual beli kursi terpilih. Beberapa kasus juga terjadi. Calon anggota DPRD Sulsel terpilih misalnya. Satu hari sebelum pelantikan, sudah ikut geladi bersih, tiba-tiba diganti oleh partai politik,” kata Donal dalam acara ILC TVOne, Selasa (14/1/2020) malam.
Contoh kemudian, Mulan Jamella yang terpilih oleh partai dengan melompati beberapa caleg yang suaranya lebih tinggi.
Untuk kasus PDIP, Donal menjelaskan, jika merujuk pada hasil rekapitulasi KPU, Riezky Aprilia itu memperoleh sekitar 40.000 suara, sedangkan Harun Masiku hanya 5.000 suara atau hanya 1/8-nya saja. “Ini saya nilai partai yang menggali persoalan sendiri. Padahal normanya jelas, bahwa penggantian (PAW) diisi oleh suara terbanyak berikutnya,” ungkapnya.
Menurutnya, PDIP memang seolah mencari celah untuk tetap menyodorkan Harun Masiku sebagai caleg terpilih. “Bagi saya ini ajaib. Kenapa yang bersangkutan (Harun Masiku) begitu getol diperjuangkan partai dengan mengorbankan orang yang punya 40.000 suara? Padahal orang itu tidak dikenal, dari mana asal-usulnya, tiba-tiba partai berkirim surat (PAW) ke KPU,” jelas Donal.
Ia menilai ada keinginan kuat dari partai sendiri untuk meloloskan Harun Masiku, sebab tidak mungkin PAW itu didasari keinginan kader yang bersangkutan. Sebab suara Harun begitu kecil dan posisi tawar di internal partai juga rendah karena bukan pejabat struktural.
“Tapi dia (Harun) diperjuangkan, difasilitasi partai. Tentu saja ini menjadi tanda tanya besar bagi kita. Kita tidak tahu di internal PDIP, kenapa bisa muncul keputusan demikian,” ujar Donal.
Ia berpendapat KPK harus mengembangkan kasus ini. Jangan sampai PAW yang dilakukan oleh partai didasari dengan pertimbangan memberikan sesuatu agar elite partai melakukan sesuatu.
“Kalau pertimbangannya hanya didasari pertimbangan politik, tentu bukan wilayah pidana. Kalau didasari dengan memberikan sesuatu agar elite melakukan sesuatu, itu bisa menjadi pidana,” ungkap Donal.
Ia menilai cara-cara yang dilakukan Wahyu Setiawan seperti menembak di atas kuda. Sebab dua kali rapat pleno, KPU tetap menolak PAW yang diusulkan oleh PDIP.
“Tujuh anggota KPU dua kali pleno mereka menolak PAW. Kalau saja mau main mata, tentu ceritanya akan beda. Cara-cara Wahyu Setiawan ini seperti menembak di atas kuda. Mencoba dan syukur-syukur untung,” urai Donal.
Terakhir, ia menilai kasus jual beli PAW ini merupakan warning, sebab orang akan takut berkontestasi politik di partai. Sebab partai dengan mudahnya mengganti orang dalam hal PAW atau melalui pemecatan. (wip)